Akselerasi Pariwisata Nasional: Menghapus Ketimpangan dan Mendorong Pertumbuhan Berbasis Desa

News13 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | BALI, – Minggu,02 November 2025. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, menyoroti potensi besar pariwisata Indonesia yang dijuluki “surga pariwisata” namun masih menghadapi persoalan ketimpangan tata kelola dan ekosistem yang belum merata. Ia menekankan perlunya dorongan ekstra dari pemerintah untuk mengembangkan destinasi di luar Bali agar manfaat ekonomi dari sektor ini dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Lamhot Sinaga mengungkapkan data devisa pariwisata pada tahun 2024 yang mencapai Rp243 triliun. Mirisnya, 44 persen dari angka tersebut masih terkonsentrasi di Bali, sementara 56 persen lainnya tersebar di seluruh Indonesia. “Artinya ini ada ketimpangan sama sekali,” ujar Lamhot, kepada Parlementaria, di Bali, Jumat (31/10/2025). Padahal, pada tahun 2019, sebelum sektor ini digarap serius, pariwisata sudah menghasilkan devisa yang mengalahkan sektor migas, tambang, dan ekspor.

Untuk mengatasi ketimpangan, pemerintah kala itu menetapkan 10 Destinasi Prioritas yang kemudian dikerucutkan menjadi 5 Destinasi Super Prioritas (DSP), seperti Labuan Bajo, Danau Toba, dan Borobudur. Bali tidak masuk dalam kategori 5 DSP karena dinilai sudah survive dan mendunia.

Untuk mendorong pemerataan, DPR melalui fungsi legislasi, telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan bulan lalu. Salah satu poin penting dalam UU baru ini adalah klasifikasi pembangunan pariwisata yang didorong untuk tumbuh dari bawah, yakni melalui pengklasifikasian. Desa Wisata, Desa Rintisan, Desa Berkembang, Desa Maju, dan Desa Mandiri.

“Kita ingin mendorong bahwa pariwisata ini juga menjadi sumber ekonomi rakyat kita, rakyat kecil,” tegas Lamhot. Ia membandingkan kondisi Bali, di mana hampir 90 persen masyarakatnya hidup dari pariwisata, dengan kawasan lain seperti Danau Toba (meliputi 7 kabupaten), Labuan Bajo, dan Raja Ampat, di mana masyarakat di sekitarnya belum hidup dari pariwisata. Targetnya, UU baru ini diharapkan akan menciptakan sumber ekonomi baru bagi masyarakat di daerah wisata tersebut.

Selain itu, Politisi Fraksi Partai Golkar ini juga membandingkan capaian pariwisata Indonesia dengan negara tetangga, menurutnya persoalan mendasar rendahnya kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) di Indonesia adalah masalah aksesibilitas dan konektivitas.

Ia mencontohkan, wisatawan yang ingin ke Gili Trawangan sering memilih penerbangan melalui Bali, bukan Lombok, karena ketiadaan aksesibilitas.

Hal ini membuat Bali menjadi hub dan menyebabkan isu overtourism serta kenaikan harga tiket. “Sebenarnya adalah bukan overtourism, cuma dia mau ke Gili Trawangan harus lewat Bali,” jelasnya memberi salah satu contoh Bali menjadi hub bagi daerah lain.

Sementara itu, harga tiket yang mahal juga menjadi kendala. Ia mencontohkan harga tiket ke Maluku yang jauh lebih mahal daripada berwisata ke Thailand. Lamhot pun mendesak pihak terkait untuk memikirkan ekosistem pariwisata secara keseluruhan, termasuk mendukung UMKM dan ekonomi kreatif yang menopang pariwisata.

“Dukungan dari UMKM dan ekonomi kreatif ini juga sebagai penopang terhadap pariwisata. Wisata itu kan nggak boleh hanya melihat view,” tutup Lamhot, seraya menambahkan pentingnya orkestrasi dan koordinasi birokrasi antar-lembaga dalam pengembangan pariwisata nasional

Pewarta : Arif prihatin