Indonesia, Bencana, dan Kolonialisme Baru: Sebuah Narasi Runut

News2 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | ACEH, – Dalam setiap bencana besar, selalu muncul dua respons: suara rakyat yang melihat langsung kenyataan di lapangan, dan suara birokrasi yang berlindung di balik prosedur, kriteria, serta data yang dianggap “belum lengkap”. Ketegangan antara keduanya kembali terlihat dalam perdebatan soal penetapan status bencana di Aceh dan Sumatera. Saat masyarakat berteriak karena korban jiwa terus bertambah, pemerintah justru sibuk memastikan apakah syarat administratif sudah terpenuhi. Inilah ciri klasik kolonialisme internal: aturan dibuat jauh dari pusat krisis, tetapi masyarakat lokal yang harus menanggung akibatnya.

Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia sering kali tidak bergerak secepat dinamika bencananya sendiri. Ketika angin siklon Asia Selatan–Asia Tenggara menghantam Sumatera, banyak yang terkejut karena fenomena itu jarang terjadi. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah betapa lambat negara merespons, seakan tidak punya sense of crisis. Menteri datang, tetapi masih berkutat pada pertanyaan dasar, seolah informasi dari lapangan belum layak dipercaya. Padahal, masyarakat sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana hutan gundul, izin korporasi, dan ekspansi industri ekstraktif memperparah skala bencana.

Perdebatan tentang “mana datanya?” hanya memperlihatkan cara berpikir administratif yang sering kali menutup mata terhadap realitas. Data memang penting, tetapi tidak semua yang penting selalu siap dalam bentuk tabel. Nurani, pengalaman, dan fakta lapangan tetap harus menjadi dasar keputusan cepat, apalagi ketika nyawa manusia dipertaruhkan. Ironisnya, negara yang sangat ketat soal data dalam urusan bencana justru longgar ketika mengeluarkan izin-izin pemanfaatan sumber daya alam. Di situlah rasa ketidakadilan muncul: SDA dari daerah diambil tanpa banyak prosedur, tetapi ketika daerah butuh bantuan, justru diminta memenuhi tumpukan syarat administratif.

Inilah akar kritik tentang kolonialisme baru dan sentralisasi. Masalahnya bukan Jawa sebagai wilayah, bukan Indonesia sebagai bangsa, tetapi pola pikir kolonial dalam tata kelola negara—yang membuat pusat merasa superior dan daerah dianggap subordinat. Ketika daerah meminta perhatian, dianggap mengeluh. Ketika daerah bersuara keras, dianggap berlebihan. Ketika meminta status bencana nasional, diminta data setumpuk. Padahal 176 korban meninggal hanyalah salah satu indikator dari tragedi yang seharusnya sudah cukup untuk memicu tanggap darurat nasional.

Karena itu, perjuangan tidak bisa berhenti pada keluhan atau perdebatan. Jika ingin menantang pola kolonial ini, maka data harus dihimpun, argumentasi disusun, dan langkah-langkah resmi ditempuh—seraya tetap menjaga kesadaran bahwa data bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk memperjuangkan keadilan. Perubahan hanya mungkin terjadi jika masyarakat bersatu membangun cara pandang baru: anti-sentralisasi, anti-penindasan struktural, dan anti-indifferent terhadap penderitaan rakyat. Dengan itu, kritik bukan lagi dianggap “koar-koar”, melainkan suara moral yang mendesak negara untuk hadir sepenuhnya bagi seluruh warganya.

Sumber : Ir. Fakhrurrazi (Peneliti Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam/PPASDA)

Pewarta : Arif prihatin