Saumlaki, Satyabhayangkara.co.id – Hak ulayat atas penguasaan kolektif masyarakat hukum adat di Tanimbar, bersifat komunal yang diwariskan secara turun-temurun kepada marga yang memiliki hak atas sebidang tanah. Kamis, (20/06/2024).
Pelepasan hak ulayat atas sebidang tanah, biasanya melibatkan proses yang kompleks dan memerlukan persetujuan dari komunitas adat serta pemerintah daerah. Pelepasan hak yang tidak sah atau dilakukan tanpa persetujuan komunitas adat dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Thurnesyen Faber Sainyakit Kepada wartawan media ini menjelaskan, Pada tahun 2011 mantan kepala desa Latdalam Azet Batmanlussy membuat pelepasan hak atas sebidang tanah seluas 2 hektar pada hak ulayat petuanan Yempori milik kami marga Sainyakit di desa Latdalam dan diserahkan kepada Pemerintah MTB saat itu, untuk pembangunan perumahan nelayan.
“Ketika kami pihak marga Sainyakit mengetahui hal tersebut, kami menggantungkan sweri atau tanda larangan adat pada lokasi itu sehingga terjadi persoalan, maka tahun 2012 kami laporkan ke Pemerintah Kabupaten MTB untuk membatalkan karena tidak melalui mekanisme dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,”ujar Sainyakit.
Selang beberapa lama kemudian, marga Sainyakit dan Pemerintah Desa Latdalam bersama tua-tua adat diundang untuk melakukan mediasi terkait dengan lahan tersebut pada bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) pada tahun 2012.
Saat itu, Bapak Poli Sabono yang menjabat sebagai Kabag Tata Pem, ketika hasil mediasi itu dikaji oleh Tata Pem maka kami dari pihak marga Sainyakit yang berhak mengeluarkan pelepasan hak adat atas objek tanah 2 hektar tersebut berdasarkan bukti-bukti yang kami sampaikan dalam forum mediasi tersebut baik bukti berupa sejarah maupun bukti tertulis.
“Kami pihak marga Sainyakit berhak mengeluarkan pelepasan hak adat atas objek tersebut, dengan poin ke 6 yang ada dalam kajian Tata Pem bahwa, pelepasan yang dibuat oleh kepala desa Latdalam Saudara Azet Batmanlusy pada Tanggal 02 september 2011 dinyatakan tidak berlaku lagi dan gugur demi Hukum. Kalau Mantan Kades Melakukan dua kali pelepasan hak atas tanah 2 hektar itu maka secara jelas itu perbuatan melawan hukum,”ungkapnya.
“Setelah itu, pemda MTB kemudian memberikan kompensasi kepada kami, atau ganti rugi lahan 2 hektar sebesar Rp 50 juta melalui transferan BANK Maluku dan kami sudah ambil rekening korannya dari bidang Aset daerah Kabupaten MTB pada saat itu,”jelasnya.
Lebih lanjut Sainyakit mengatakan, Jelang beberapa tahun kemudian pada 2016 mantan kepala desa Latdalam kembali lagi membuat pelepasan baru lagi dan berlaku surut ke tahun 2011, dengan tanggal dan bulan yang berbeda dan juga nomor register yang berbeda pada 20 juli 2011, dan diserahkan kepada Dony Dasmasela.
Terhadap pelepasan itu, digunakan oleh Doni Dasmasela untuk menuntut pemda MTB mengganti rugi objek tersebut pada pengadilan negeri Saumlaki, dan dibayarkan oleh pemda MTB melalui rekening atas nama Kilyon Luturmas sebesar Rp 600 juta. Padahal lahan ini sudah di bayar kepada marga kami.
“Jadi, kalau saya mau melihat bahwa 1 objek dibayar 2 kali, menurut saya ini suatu perbuatan melawan Hukum yang bekerja sama dengan beberapa pejabat yang ada pada pemerintah Kab MTB untuk sengaja merekayasa administrasi negara dalam menguntungkan pihak-pihak tersebut,”tandasnya.
“Seharusnya, mantan kepala desa Latdalam Azet Batmanlusy kalau mau menerbitkan pelepasan adat yang baru pada tahun 2016 itu, harus menggugurkan pelepasan yang sudah ada pada marga Sainyakit itu dulu melalui salah satu instansi pemerintah atau melalui forum adat secara resmi seperti kami pihak marga Sainyakit, yang menggugurkan pelepasan yang dibuat oleh mantan kepala desa Latdalam Azet Batmunlusy pada tanggal 02 september 2011 itu.
Jangan main mata dengan beberapa pejabat yang bekerja pada pemda MTB saat itu, untuk terbitkan pelepasan baru yang ke 2 kalinya,”kesalnya.
Dengan demikian maka, terkait dengan Dua kali pelepasan hak atas tanah ulayat yang dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang sah, maka kami anggap ini sebagai perbuatan melawan hukum. Langkah hukum sudah kami ambil meliputi gugatan perdata dan/atau laporan pidana ke Polres Kepulauan Tanimbar, dengan mempertimbangkan kerugian yang dialami dan legalitas proses pelepasan hak tersebut. Tutupnya. (Ewin Masela)