BPOM Serahkan Sertifikat GMP Kepada 2 UPD Rumah Sakit Vertikal Kementerian Kesehatan

Uncategorized91 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Selasa,02-07-2024 Dua unit pengelola darah (UPD) rumah sakit vertikal Kementerian Kesehatan yaitu RS Fatmawati dan RS Kariadi telah mengantongi Sertifikat Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari BPOM. Sertifikat CPOB diserahkan secara simbolis oleh Deputi Bidang Pengawasan Obat dan Napza Rita Endang di RS Fatmawati, Senin (1/7/2024). Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Plt. Kepala BPOM L Rizka Andalusia turut menyaksikan penyerahan sertifikat tersebut.

Direktur Utama RS Fatmawati Mohammad Syahril mengatakan izin CPOB akan mempermudah UPD rumah sakit untuk meningkatkan produksi dan memisahkan plasma darah yang akan diolah salah satunya menjadi albumin. ”Produksi albumin lokal setelah mendapat CPOB bisa mengurangi ketergantungan akan impor,” harapnya.

”Sertifikasi GMP (Good Manufacturing Practices) yang diterima oleh kedua rumah sakit ini bukan hanya mengenai obat-obatan, tetapi juga mencakup pengolahan darah, jadi harus mempunyai standar kualitas yang baik.” jelas Plt. Kepala BPOM dalam laporannya.

UPD RS Fatmawati dan RS Dr. Kariadi adalah UPD kedua dan ketiga yang memenuhi standar CPOB di Indonesia, setelah UPD RS Sardjito Yogyakarta.

Ia menambahkan, dalam waktu dekat, Ministry of Food and Drug (MFDS) Korea Selatan akan melakukan asesmen terhadap UPD RS Sardjito dalam rangka persiapan toll manufacturing plasma di Korea. Tim UPD RS Fatmawati dan RS Kariadi juga dapat belajar dari RS Sardjito.

Plt. Kepala BPOM juga menerangkan bahwa penjaminan mutu ini adalah GMP yang wajib diterapkan, termasuk di UPD. Dalam aturan yang dikeluarkan badan kesehatan dunia atau WHO, obat derivat plasma harus disusun menjadi plasma master file.

Ia mencontohkan plasma yang dihasilkan UPD RS Sardjito sudah memenuhi standar plasma master file WHO sehingga layak menjadi bahan baku produk derivat plasma.

Hingga saat ini Indonesia masih belum memiliki industri fraksionasi plasma. Indonesia dengan jumlah populasi besar memiliki sumber daya plasma darah berlimpah sebagai bahan baku industri fraksionasi plasma.

Oleh karenanya, dukungan terhadap kehadiran industri fraksionasi plasma di Indonesia dituangkan sebagai salah satu fokus dalam Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi di Indonesia sesuai Permenkes Nomor 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.

Disaat yang sama, Menteri Kesehatan menyinggung lebih dari 50% bahan baku obat berbasis plasma saat ini masih impor. Bahkan, 5,2 juta kebutuhan kantong darah baru bisa terpenuhi sebesar 4,4 juta kantong, dan kebutuhan plasma sebanyak 350 ribu liter per tahun baru bisa dipenuhi 145 ribu liter.

Ia berharap dalam 5 tahun seluruh UPD di rumah sakit daerah sudah tersertifikasi CPOB agar kebutuhan masyarakat terhadap produk darah dapat terakomodir.

“Padahal Indonesia itu populasi terbesar keempat terbesar di dunia, ada 280 juta orang, tidak boleh bangga dengan sertifikat CPOB UPD 3 RS.

Jadikan target dalam setahun UPD di semua [yaitu] 33 RS vertikal kelas A dan RSUD di ibukota provinsi di Indonesia harus mendapat sertifikat CPOB dan semua RSUD kabupaten/kota harus dapat meng-collect darah secara mandiri”, tegas Menkes.

UPD tersertifikasi CPOB di Indonesia diharapkan akan terus bertambah. Di tahun ini, UPD di 9 RS vertikal ditargetkan akan segera menyusul memperoleh sertifikat CPOB.

Kehadiran industri fraksionasi plasma ini merupakan suatu potensi besar dalam rangka mewujudkan kemandirian produk darah Indonesia sehingga mampu mencukupi kebutuhan plasma fraksionasi, baik dengan toll manufacturing maupun produksi secara lokal di Indonesia.

Pewarta : Arif prihatin