SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Sejarah baru perjalanan demokratisasi Indonesia dimulai usai Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas (presidential threshold) minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (wapres).
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo saat membacakan putusan tersebut.
Implikasi putusan tersebut, diperkirakan peluang bagi calon presiden (capres) dan calon wapres yang ikut kontestasi di pemilu 2029 mendatang akan semakin terbuka dan ramai peserta.
Momentum besar ini menandai sebuah babak baru demokrasi Indonesia setelah sebelumnya – tepatnya dua dekade lalu – gelombang demokratisasi berhasil digebrakkan lewat gerakan reformasi politik (baca: reformasi 1998).
*Makna Penting Penghapusan PT*
Lantas, apa yang bisa dimaknai dari persitiwa genting ini? Terlepas dari euphoria yang bergemuruh dari timur hingga barat nusantara pasca putusan bersejarah ini dibacakan oleh MK, satu hal pasti bahwa momentum ini menjadi tonggak sejarah baru bagi Indonesia dalam mencari format terbaik pelaksanaan prodesuralitas demokrasi.
Bangsa ini memang telah melewati berbagai dinamika dan peristiwa luar biasa sejak kemerdekaan untuk terus menyesuaikan diri dengan format demokrasi terbaik yang dipilihnya.
Trajektori implementasi sistem demokrasi itu dapat diamati sejak era orde lama, orde baru hingga orde reformasi sekarang ini.
Dan, harus diakui, masing-masing etape memiliki corak dan karakternya sendiri-sendiri menurut dinamika dan konteks sosial politik yang membingkainya.
Meskipun banyak yang menilai, siklus demoratisasi kita hanya mengulang apa yang pernah dilalui sebelumnya (sentralistik-desentralistik, desentralistik-sentralistik), namun kesadaran demokratis di kalangan akar rumput (rakyat) terus mengalami perbaikan atau peningkatan dari waktu ke waktu.
Hal itu bisa dicermati melalui peningkatan partisipasi politik yang dibarengi dengan kesadaran hak konstitusional serta perlahan mulai kritis terhadap kekuasaan yang dianggap tiranik atau otoritarianistik.
Memang, pasca reformasi, rakyat Indonesia sedikit lebih terbuka dan leluasa dalam menyampaikan kritik dan pandangan politiknya.
Hal ini sangat berbeda dari apa yang terjadi di rezim-rezim sebelumnya, meskipun kebebasan menyampaikan pendapat ini belum sepenuhnya dikatakan sempurnya. Sebab, dalam derajat tertentu, kebebasan yang dirasakan sekrang ini masih dibayangi pengekangan.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Komnas HAM dalam catatan tahunannya, di mana sepanjang tahun 2020-2021 terdapat 44 kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Angka tersebut berasal dari 29 kasus pengaduan masyarakat dan 15 kasus dari media monitoring yang dilakukan oleh Tim Pemantauan Situasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat.
Tentu, kasus-kasus lain dan terbaru lebih banyak lagi jika dirunut satu per satu. Namun, harus diakui bahwa ruang ekspresi saat ini sedikit lebih longgar dan terbuka dibanding, katakanlah apa yang terjadi di era sebelumnya.
Dengan demikian, pemberian ruang kontestasi bagi peserta pemilu (capres/cawapres), tanpa harus melalui pembatasan-pembatasan normative yang menutup ruang bagi yang lain, memeberi kesempatan emas kepada seluruh putra-putri terbaik negeri untuk terlibat dalam suksesi Pemilu akan datang.
Kesempatan ini sekaligus diharapkan memangkas biaya politik yang mahal dan mengurangi fenomena transaksi politik serta monopoli kewenangan di level partai penguasa (partai-partai besar) dalam penentuan kontestan-kontestan potensial.
Akhirnya, melalui momentum penting ini, semua anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai presiden dan atau wakil presiden di masa-masa mendatang.
Semoga, angin segar ini dapat dimaksimalkan dengan baik utamanya kalangan anak-anak muda yang selama ini tersisih dari arena kontestasi politik, padahal memiliki visi dan kemampuan leadership yang baik.
*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia*
Pewarta : Arif prihatin