Landmark Decision: Bussines Judgement Rule Kasus Direktur Utama Pertamina

News28 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Sabtu, 19 April 2025. Kerugian akibat pelaksanaan bussines judgement rule bukan merupakan tindak pidana sepanjang tidak terdapat kecurangan, benturan kepentingan, perbuatan melawan hukum dan kesalahan yang disengaja.

Dunia bisnis dan hukum sebenarnya tidak asing dengan pelaksanaan bussines judgement rule, karena tindakan tersebut sering dilakukan oleh para petinggi perusahaan untuk mengambil langkah-langkah berupa keputusan atau kebijakan untuk kepentingan terbaik bagi perusahaan itu sendiri dan keputusan atau kebijakan tersebut bebas dari konflik kepentingan, agar walaupun keputusan yang diambil petinggi tersebut dapat merugikan perusahaan (korporasi).

Terkait pelaksanaan bussines judgement rule, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 memberikan kaidah hukum yang termuat dalam Laporan Tahunan 2020 sebagai landmark decision.

Perkara nomor 121 K/Pid.Sus/2020 merupakan perkara tindak pidana korupsi atas nama Terdakwa Ir. Galaila Karen Kardinah alias Karen Galaila Agustiawan alias Karen Agustiawan yang dikenal sebagai Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara yang kita kenal dengan istilah Pertamina.

Kronologis Kasus dan Posisi:

Terdakwa selaku Plt Direktur Hulu PT Pertamina (periode 2008- 2009) dan juga selaku Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014, bersama-sama dengan Ferederick ST Siahaan selaku Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero) periode 2006- 2010 serta Ir Bayu Kristanto selaku Manager Merger & Akuisisi periode 2008-2010 dan Genades Panjaitan selaku Legal Consul & Compliance PT Pertamina periode 2009-2015, telah menerima penawaran dari Citi Group terkait investasi PI (Participating Interest) di Blok BMG Australia tanpa melakukan pembahasan atau kajian terlebih dahulu dan menyetujui PI Blok BMG yang belum ada due diligence, serta adanya analisa risiko yang ditandatangani dengan penandatanganan sale purchase agreement yang belum mendapatkan persetujuan dari bagian legal dan dewan komisaris.

Ferederick ST Siahaan menerima surat penawaran dari Citibank Indonesia, perihal confidential participation in project, tanpa melakukan pembahasan terlebih dahulu dengan Direktur Utama PT Pertamina maupun direksi lainnya.

Terdakwa langsung meneruskan penawaran kepada Ir. Bayu Kristanto dan R. Gunung Sardjono Hadi yang selanjutnya membuat surat yang ditujukan kepada Citi Group yang menyatakan, PT Pertamina tertarik akan penawaran ROC Ltd dan kemudian PT Pertamina dinyatakan sebagai short listed (memenuhi syarat).

Untuk mengkaji penawaran dari ROC Ltd. dibentuk tim internal dan external (PT Delloite Konsultan Indonesia) sebagai financial advisor, tetapi pelaksanaaan due deligence yang dilakukan oleh tim ekternal menemui kesulitan. Ini karena pihak ROC Ltd tidak memberikan data-data yang diperlukan, di antaranya biaya operasi dan biaya pegawai, cash flow sejak 2007 sampai dengan 2009 dan juga accounting policies.

Direktur Keuangan bersama Ir. Bayu Kristanto dan tim teknis kemdian berangkat ke Australia untuk mengetahui lebih jauh kredibilitas ROC LTD serta menandatangani confidentiality agreement yakni, perjanjian rahasia yang memungkinkan Pertamina dapat mengakses dan memperoleh seluruh dokumen atau data-data yang dibutuhkan.

Terdakwa selaku Direktur Utama bersama Ferederick Siahaan selaku Direktur Keuangan melakukan rapat dengan Direksi PT Pertamina Iainnya dan memutuskan, Direksi PT Pertamina menyetujui untuk melakukan akuisisi Blok BMG.

Selanjutnya, Dewan Komisaris PT Pertamina yang terdiri dari Sutanto, Umar Said, Maizar Rahman, Sumarsono, Gita Irawan Wirjawan dan Humayan Boscha dalam rapatnya memutuskan, dewan komisaris merekomendasikan dapat menyetujui usulan direksi untuk mengikuti bidding dalam proyek Investasi Non Rutin Project Diamond (Blok BMG).

Selanjutnay, terdakwa selaku Direktur Utama PT Pertamina, memutuskan mengakuisisi 10% Participating Interest (PI) Blok BMG dengan nilai penawaran US$30 juta dan Direktur Keuangan Pertamina, berdasarkan surat kuasa (mandat/power of attorney) mewakili PT Pertamina menandatangani sale purchase agreement sebesar 10% Participating Interest (PI) dengan persetujuan dari Dewan Komisaris PT Pertamina Hulu Energi (terdakwa sebagai komisaris utama).

Namun kemudian, Dewan Komisaris PT Pertamina ternyata bersikap mendua. Menyetujui bidding/penawaran tanpa bermaksud untuk menang dan kemudian berterima kasih kepada direksi bahwa bidding telah berhasil. Tetapi di lain pihak, tidak menyetujui cadangan dan produksi aset Participating Interest (PI) Blok BMG Australia relatif kecil, sehingga tidak mendukung strategi penambahan cadangan dan produksi minyak PT Pertamina.

Dalam suatu kesempatan, ROC Ltd selaku operator Blok BMG memutuskan menghentikan produksi (NonProductionPhase -NPP-) karena penggantian suku cadang yang harus dilakukan. Jika tidak, biaya operasional diperkirakan lebih besar dari pendapatan produksi (revenue) sehingga menjadi tidak ekonomis.

Walaupun tidak menyetujui NPP, tetapi karena kepemilikan saham yang hanya 10% membuat PT Pertamina Hulu Energi harus mengikuti keputusan pemegang saham mayoritas (voting). Sehingga, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) tidak memperoleh keuntungan di samping harus membayar kewajiban biaya operasional (cash call) dari Blok BMG Australia sampai dengan 2012 sesuai sale purchase agreement PT PHE dengan ROC Ltd. Akibatnya, PT Pertamina Hulu Energi mengalami “kerugian” sebesar AUD35.189.996.

Dugaan Kerugiaan Negara, Dakwaan dan Tuntutan

Perbuatan terdakwa tersebut senyatanya memperkaya ROC Ltd Australia dan merugikan keuangan negara sebesar lebih dari Rp568 miliar, sebagaimana Laporan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dari Kantor Akuntan Publik Drs. Soewarno Ak.

Terdakwa didakwa dengan subsidairitas yaitu: Primair melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP; Subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Jaksa Penuntut Umum kemudian mengajukan tuntutan pokoknya dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana dalam dakwaan primair, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dikurangi selama terdakwa berada di dalam tahanan sementara dengan perintah.

Jaksa juga meminta terdakwa tetap ditahan dan ditambah dengan denda sebesar Rp1 miliar rupiah subsidiair enam bulan kurungan, menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar lebih dari Rp284 miliar. Dalam hal terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti atau dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara selama lima tahun.

Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi

Amar putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat:

Menyatakan terdakwa, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primair, membebaskan terdakwa dari dakwaan primair tersebut.

Namun begitu, Majelis Hakim menyatakan, terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi secara bersama-sama” sebagaimana dalam dakwaan subsidiair, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa IR. Galaila Karen Kardinah alias Karen Galaila Agustiawan alias Karen Agustiawan dengan pidana penjara selama delapan tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar, dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan dan seterusnya.

Amar Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta:

Menerima permintaan banding terdakwa dan penuntut umum. Selanjutnya memutuskan menguatkan putusan Pengadilan Negeri yang dimintakan banding tersebut.

Putusan dan Pertimbangan Hukum Putusan MA RI Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 (landmark decision)

Perkara Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim Kasasi yakni Dr. H. Suhadi, S.H., M.H. (Ketua Majelis), Prof. Dr. Krisna Harahap, S.H., M.H., Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.Hum., Dr. Sofyan Sitompul, S.H., M.H., dan Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H. (masing-masing sebagai Hakim Anggota) dengan Rudi Soewasono Soepadi, S.H., M.Hum. sebagai Panitera Pengganti.

Majelis Hakim kasasi menjatuhkan putusan dengan amar putusan sebagai berikut:

1. Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi I/penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tersebut;

2. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa tersebut;

3. Membatalkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2019/PT.DKI, tanggal 24 September 2019 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 15/Pid.Sus/TPK/2019/PN Jkt.Pst., tanggal 10 Juni 2019;

Mengadili Sendiri:

1. Menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dalam dakwaan penuntut umum, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana;

2. Melepaskan terdakwa tersebut dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging);

3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

4 .Dst…

Majelis Hakim tingkat kasasi memberikan pertimbangan hukum dalam putusan lepas segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) tersebut, menitikberatkan pada keuangan anak perusahaan BUMN, tidak termasuk keuangan negara sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPUPres/XVII/2019.

Sehingga, kerugian yang dialami oleh PT Pertamina Hulu Energi sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah kerugian keuangan negara. Oleh karena PT Pertamina Hulu Energi sebagai anak perusahaan PT Pertamina tidak tunduk kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Selanjutnya dalam pertimbangannya mengatakan, yang dialami oleh PT Pertamina Hulu Energi adalah penurunan nilai aset (impairment) secara fluktuatif dalam pembukuan/pencatatan sesuai standar akuntansi keuangan.

Sedangkan mengenai izin dan persetujuan komisaris, terdakwa telah menerima izin dan persetujuan bidding melalui Memorandum Dewan Komisaris tanggal 30 April 2019 tetapi sehari setelah penandatanganan sale purchase agreement pada 27 Mei 2009 di Sidney, dewan komisaris menunjukkan sikap yang mendua.

Ada pula yang menjadi fakta hukum yang diambil sebagai perimbangan Majelis Hakim Kasasi, bahwa terdapat fakta (notoire feiten) bahwa oil company penuh dengan risiko karena tidak ada parameter yang pasti untuk menentukan berhasil atau gagalnya suatu eksplorasi. Sehingga, apa yang terjadi di Blok BMG Australia sebagaimana yang dialami oleh seluruh perusahaan migas dunia merupakan hal yang Iumrah sehingga adagium no risk, no business berlaku lebih nyata.

Fakta hukum yang terakhir menjadi pertimbangan putusan adalah apa yang dilakukan oleh terdakwa dan jajaran Direksi PT Pertamina lainnya semata-mata dalam rangka mengembangkan PT Pertamina yakni, berupaya menambah cadangan migas. Sehingga, langkah-Iangkah yang dilakukan oleh terdakwa selaku Direktur Utama PT Pertamina dan Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi tidak keluar dari ranah business judgement rule, ditandai tiadanya unsur kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum dan kesalahan yang disengaja.

Dengan adanya putusan kasasi yang menjadi yurisprudensi, maka dapat digunakan hakim lainnya yang memeriksa dan memutus perkara sama. Dengan kaidah hukumnya adalah, kerugian akibat pelaksanaan bussines judgement rule bukan merupakan tindak pidana sepanjang tidak terdapat kecurangan, benturan kepentingan, perbuatan melawan hukum dan kesalahan yang disengaja.

Terhadap perkara yang telah terbukti di pengadilan, sejatinya dapat dinyatakan lepas dari tuntutan hukum, yaitu manakala dalam perkara memang perbuatannya telah terbukti ataupun telah diakui akan tetapi perbuatan itu, ternyata bukanlah merupakan suatu tindakan pidana.

Dengan demikian, hakim memutus terdakwa lepas dari segala tuntan hukum atau biasa dikenal oleh praktisi maupun mahasiswa hukum dengan istilah ontslag van alle rechtsvervolging.

Pewarta : Arif prihatin