SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Rabu, 23 April 2025. Rasa malu atas tindakan yang menyimpang dari nilai-nilai sosial, etika, dan agama akan menjadi pengendali internal yang efektif untuk menjaga konsistensi perilaku dan tanggung jawab moral.
Dalam kurun enam bulan terakhir, Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah melakukan penangkapan terhadap beberapa oknum hakim yang diduga terlibat dalam praktik tindak pidana korupsi. Peristiwa pertama terjadi pada November 2024 yang melibatkan sejumlah oknum hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, disusul pada April 2025 dengan penangkapan oknum hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kejadian-kejadian tersebut tentu menjadi pukulan yang menyakitkan bagi Mahkamah Agung, khususnya di tengah upaya serius yang sedang digencarkan oleh para pimpinan MA dalam melakukan pembenahan menyeluruh dalam tubuh peradilan, termasuk peningkatan kualitas pelayanan serta integritas para aparaturnya.
Menanggapi pertanyaan mengenai sejauh mana Mahkamah Agung telah melakukan pengawasan terhadap para hakim, Juru Bicara Mahkamah Agung, Prof. Yanto, di hadapan media menjelaskan, terdapat setidaknya lima lapisan pengawasan yang telah diterapkan dalam mengawasi aparatur peradilan. Kelima sistem pengawasan tersebut meliputi:
1. Pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial;
2. Pengawasan internal oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung;
3. Pengawasan oleh Ketua Pengadilan Tinggi sebagai vorpost;
4. Pengawasan melekat oleh atasan langsung;
5. Pengawasan berbasis partisipasi publik melalui aplikasi SIWAS.
Selain pengawasan formal tersebut, Pimpinan Mahkamah Agung juga selalu mengingatkan akan pentingnya integritas, kesederhanan, dan kerja keras dalam acara Pembinaan yang secara berkala dilakukan. Selain itu, secara rutin (dua kali dalam seminggu) Ketua Mahkamah Agung menyampaikan amanat langsung kepada seluruh aparatur peradilan melalui rekaman suara yang diputar di ruang-ruang pengadilan.
Arahan moral tersebut, sebagai bentuk pengingat akan pentingnya integritas dan profesionalisme di lingkungan peradilan serta pedoman pemberian pelayanan berkarakter kepada masyarakat, serta ajakan menjaga marwah lembaga peradilan. Semua ini mencerminkan komitmen MA untuk mewujudkan peradilan yang agung, bersih, dan terpercaya di mata publik
Namun demikian, pengawasan seketat apapun, pembinaan dan arahan sesering apapun, tidak akan membuahkan hasil apabila tidak disertai dengan integritas pribadi yang kuat, terutama rasa malu.
Hilangnya rasa malu dianggap sebagai akar dari keberanian para oknum untuk melakukan tindakan tercela yang tidak hanya mencemarkan nama baik pribadi, tetapi juga merusak citra institusi peradilan.
Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Dr. H. Yasardin, S.H., M.Hum. pada acara puncak hari jadi IKAHI ke-72 (23/4) menyampaikan, rasa malu merupakan fondasi utama dalam membangun integritas.
Ia mengutip hadis yang menekankan bahwa malu adalah bagian dari iman dan rasa malu dapat menjadi pelindung dari perbuatan dosa dan maksiat.
Ia menjelaskan, rasa malu yang kuat dapat menjadi motivasi untuk menghindari perilaku menyimpang dan menjaga konsistensi dalam tindakan, sehingga mendukung integritas.
Ia kembali mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” Kutipan ini menekankan, ketiadaan rasa malu akan membuka jalan bagi seseorang untuk melakukan pelanggaran tanpa batas.
Budaya malu sangat berkaitan erat dengan pembentukan karakter yang berintegritas.
Rasa malu atas tindakan yang menyimpang dari nilai-nilai sosial, etika, dan agama akan menjadi pengendali internal yang efektif untuk menjaga konsistensi perilaku dan tanggung jawab moral.
Lebih jauh, ketiadaan rasa malu di kalangan aparat penegak hukum dapat menimbulkan dampak negatif yang luas, antara lain:
1. Menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan;
2. Timbulnya ketidakadilan dalam pelayanan publik;
3. Merosotnya kualitas layanan hukum;
4. Meningkatnya angka korupsi;
5. Ketidakstabilan politik dan sosial;
6. Kerugian finansial bagi negara;
7. Terhambatnya pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
Menurut Yasardin yang juga menjabat sebagai Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung itu, seorang hakim merupakan representasi keadilan dan perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi. Maka, betapa ironisnya apabila hakim justru melanggar hukum yang semestinya mereka tegakkan.
Oleh karena itu, sebagai Ketua Umum IKAHI, ia mengimbau seluruh hakim di Indonesia untuk menanamkan dan menumbuhkan kembali rasa malu sebagai landasan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab profesi. Sifat ini penting dimiliki para hakim agar tidak tergoda melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan
Pewarta : Arif prihatin