Menelusuri Profesi Notaris di Indonesia

News90 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, –Kamis, 1 Mei 2025. Selain profesi Hakim, Notaris adalah sebuah profesi yang dikenal dengan “officium nobile” karena profesi ini memiliki hubungan erat dengan kemanusiaan. Notaris sudah dikenal pada sekitar abad ke-2 sampai ke-3 pada masa romawi kuno, dimana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius atau notarius. Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang mencatat pidato.

Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, notarius, yang kemudian menjadi istilah atau titel bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia.

Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, Notaris adalah lembaga sosial yang ada sebagai kebutuhan untuk komunikasi antarpribadi, yang hendak memberikan kesaksian kepada orang-orang yang berkepentingan dengan Hukum Perdata. Badan tersebut diberi kuasa umum (openbaar gezag) untuk memberikan bukti tertulis yang mengandung kuasa asli, mengikuti kehendak persyaratan Hukum masyarakat. Lembaga sosial yang dikenal dengan sebutan “Notaris” ini muncul karena adanya kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat yang ingin memberikan pembuktian tentang hubungan Hukum Keperdataan melalui suatu badan yang ditunjuk oleh pejabat publik (openbaar gezag). Sehingga jabatan notaris tidak ditempatkan di lembaga eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif.

Dikutip dari G.H.S Lumban Tobing (1983), sejarah perkembangan lembaga kenotariatan di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan lembaga kenotariatan di seluruh negara Eropa, khususnya Belanda. Hal ini karena di Indonesia, Undang-Undang tentang jabatan Notaris berasal dari “Notariswet” (Ned. Stbl. no. 20) dari Belanda pada tanggal 9 Juli 1842, sedangkan isi “Notariswet” sebagian besar berasal dari Hukum Notaris Perancis dari 25 Ventose an Xl (16 Maret 1803) meskipun bukan terjemahan yang lengkap. “Notariswet” diakui dan digunakan di Belanda.

Di masa itu Belanda seolah-olah memonopoli lembaga Notariat yang ada di Indonesia. Lembaga Notariat juga menduduki kota-kota besar, sehingga hanya mudah dijangkau oleh orang-orang yang tinggal di sana. Hanya orang-orang Timur asing, Cina, Eropa, dan bangsa asing lain yang memiliki kesempatan untuk tinggal di kota-kota besar.

Beberapa orang Indonesia dengan golongan tertentu yang memiliki kesempatan untuk tinggal di kota-kota besar, sedangkan sebagian besarnya menduduki pemukiman di kota kecil dan desa-desa.

Dikutip Dandapala (1/5) dari buku Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim (2015), tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1620, Notaris pertama yang diangkat di Indonesia yaitu Melchior Kelchem, sekretaris dari College van Schenpenen di Jakarta pada tanggal 27 agustus 1620. Setelah itu berturut ikut diangkat sebagian notaris yang lain, yang umumnya merupakan keturunan Belanda atau timur asing yang lain.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, keberadaan notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu :

“Segala peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini””. Dengan berdasar kepada Pasal II Aturan Peralihan tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het Notarisambt in Nederlands Indie.“

Kemudian, sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948 tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan, dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman.

Selanjutnya pada tahun 1954, diadakan kursus-kursus independen di Universitas Indonesia. Dilanjutkan kursus notariat dengan menempel di fakultas hukum, sampai tahun 1970 diadakan program studi spesialis notariat, sebuah program yang mengajarkan keterampilan (membuat perjanjian, kontrak dan sebagainya) yang memberikan gelar sarjana hukum (bukan CN singkatan dari Candidate Notaris) pada lulusannya.

Dalam perjalannya, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Jabatan Notaris masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:

1.Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101;

2.Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

3.Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

4.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan

5.Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.

Dikarenakan berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Hingga pada akhirnya bisa sebagai pengganti Staatsblad 1860 Nomor 30, di tahun 2004 lahir Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan pada tahun 2014 UUJN telah diubah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014.

Pewarta : Arif prihatin