Perisai Badilum Perdalam Pemaafan Hakim dalam KUHP Nasional

News40 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Kamis, 1 Mei 2025. Keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) sudah semakin dekat. Ada kebaruan dalam KUHP Nasional berkaitan dengan pemidanaan yang perlu dibahas lebih dalam yaitu Pemaafan Hakim.

Berkaitannya dengan itu, pada 30 April 2025 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) mengadakan Pertemuan Rutin dan Sarasehan Interaktif Badan Peradilan Umum (PERISAI Badilum) Episode 6 bertajuk “Pemaafan Hakim dalam Era Baru Hukum Pidana” dengan mengundang Narasumber Prof. Pujiyono (Guru Besar Universitas Diponegoro) dan Dr. Fachrizal Afandi, (Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi).

Giat tersebut dibuka oleh Dirjen Badilum, Bambang Myanto dan dihadiri oleh Para Pejabat Eselon II Ditjen Badilum, Para Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding dan Pertama, Para Hakim, dan Tenaga Teknis lainnya di Lingkungan Peradilan Umum seluruh Indonesia secara hybrid.

Prof. Pujiyono menegaskan bahwa individualisasi pidana harus dapat diterapkan dalam sistem pemidanaan. Hakim harus memperhatikan konsep tersebut karena keadilan tercermin pada individu dan perbedaan khusus pada masing-masing individu. Hal tersebut yang menentukan hakim untuk menjatuhkan hukum penjara atau substitusi dengan pidana denda.

Ditekankan juga pentingnya keadilan operasional. “Dengan adanya keadilan operasional maka dapat ditunjukkan pemaafan hakim bukan transaksional karena telah mengacu pada ketentuan pedoman pemidanaan”, ucap Guru Besar FH Undip tersebut.

Dr. Fachrizal memaparkan pentingnya rasa keadilan khususnya bagi hakim dalam memeriksa suatu perkara. “Pemaafan hakim atau rechterlijke pardon diatur dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional. Ketentuan tersebut memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada orang yang bersalah. Hal itu dipertegas juga dalam pedoman pemidanaan dalam Pasal 53 KUHP Nasional, bahwa hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan”, katanya.

Lebih lanjut disampaikan, kewenangan hakim dalam memberikan pemaafan hakim sudah dikenal lebih dahulu pada negara luar, misalnya Inggris dengan konsep discharges, Amerika dengan konsep deferred adjudication, Jerman dengan konsep strafgesetzbuch, Perancis dengan konsep Dispense de Peine.

Dari sekian negara yang sudah menerapkan pemaafan hakim, ada kesatuan paham bahwa equity atau keadilan harus mempertimbangkan kondisi pelaku dan masyarakat. Penjatuhan pidana dapat dilakukan tanpa adanya pidana sama sekali dengan ketentuan ketertiban umum sudah pulih kembali.

Tampak sesi diskusi pun berlangsung dengan hangat. Segudang pertanyaan muncul dari berbagai pengadilan, seperti PN Padang Panjang dan PN Garut.

Berakhirnya giat Perisai ini dapat dikutip pesan agar hakim di Indonesia lebih siap untuk mempertimbangkan proses persidangan, khususnya dalam mengadaptasi paradigma pemidanaan, dimana pemaafan hakim menjadi salah satu opsi pemidanaan yang dimungkinkan tentunya dengan memperhatikan keadilan dan tegaknya hukum.

Pewarta : Arif prihatin