RestoraBelumtif: Apa yang Perlu Dikhawatirkan dan Bagaimana Mengantisipasinya?

News13 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Jumat 30 Mei 2025. Keadilan restoratif di Indonesia akan menjadi test case yang penting untuk memahami bagaimana inovasi konsep hukum dapat diadaptasi dalam konteks pembangunan negara dengan tantangan struktural yang kompleks.

Pendahuluan

Dalam evolusi peradaban manusia, konsep keadilan telah mengalami transformasi yang mencerminkan perubahan fundamental dalam cara kita memahami hubungan antara individu, masyarakat, dan negara.

Keadilan restoratif, sebagai paradigma yang relatif baru dalam sistem peradilan modern, menawarkan perspektif yang berbeda secara radikal dari pendekatan retributif yang telah mendominasi pemikiran hukum Barat selama berabad-abad. Namun, seperti halnya setiap inovasi institusional yang ambisius, implementasi keadilan restoratif dalam konteks Indonesia menghadirkan dilema-dilema yang kompleks, terutama bagi para hakim sebagai aktor utama dalam sistem peradilan.

Indonesia, dengan warisan kolonial, pluralitas budaya, dan proses demokratisasi yang masih berlangsung, menyediakan laboratorium yang menarik untuk mengamati bagaimana paradigma keadilan restoratif berinteraksi dengan struktur sosial dan hukum yang sudah ada.

Pertanyaan yang muncul bukanlah apakah keadilan restoratif merupakan ide yang baik atau buruk, karena secara teoretis memang menawarkan solusi atas berbagai kelemahan sistem retributif, melainkan bagaimana implementasinya dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan dalam konteks sosio-politik Indonesia yang spesifik.

Dilema Legitimasi dan Konsistensi dalam Arsitektur Hukum Modern

Kekhawatiran pertama dan paling fundamental yang harus dihadapi hakim Indonesia adalah berkaitan dengan tensi yang melekat antara fleksibilitas yang dibutuhkan keadilan restoratif dengan prinsip kepastian hukum yang menjadi fondasi legitimasi sistem peradilan modern.

Dalam tradisi hukum yang telah berkembang sejak Revolusi Prancis, konsep “rule of law” tidak hanya berarti supremasi hukum atas kekuasaan politik, melainkan juga prediktabilitas dan konsistensi dalam penerapan norma-norma hukum. Keadilan, dalam paradigma ini, dipahami sebagai “equal treatment under the law”-sebuah prinsip yang mengasumsikan bahwa kasus-kasus yang serupa harus diperlakukan secara serupa (Ronald Dworkin, 1986).

Keadilan restoratif, dengan penekanannya pada solusi yang dikustomisasi berdasarkan konteks spesifik setiap kasus, secara fundamental menantang asumsi ini. Setiap proses restoratif, bahkan untuk jenis kejahatan yang sama, dapat menghasilkan outcome yang berbeda tergantung pada dinamika antara pelaku, korban, dan masyarakat. Dalam teori, hal ini dapat dilihat sebagai kekuatan keadilan yang lebih kontekstual dan humanis. Namun, dalam praktik, hal ini dapat menciptakan krisis legitimasi yang serius.

Ambiguitas ini menjadi lebih problematis dalam konteks Indonesia, di mana sistem hukum masih terus dalam proses konsolidasi pasca-reformasi. Hakim Indonesia menghadapi realitas bahwa mereka beroperasi dalam sistem yang belum sepenuhnya matang, di mana preseden-preseden hukum masih dalam proses pembentukan.

Ketika seorang hakim di Jawa Tengah memberikan sanksi restoratif berupa program community service untuk kasus pencurian sepeda motor, sementara hakim di Jakarta memberikan pidana penjara dua tahun untuk kasus yang hampir identik, muncul pertanyaan mendasar tentang keadilan prosedural dan legitimasi sistem.

Lebih jauh lagi, inkonsistensi ini dapat menciptakan moral hazard yang berbahaya. Jika outcome dari suatu tindak pidana menjadi tidak dapat diprediksi, hal ini dapat menciptakan insentif yang salah baik bagi pelaku potensial maupun korban.

Pelaku potensial mungkin akan melakukan kalkulasi bahwa risiko sanksi yang ringan melalui proses restoratif lebih menguntungkan daripada efek jera yang seharusnya diciptakan oleh sistem peradilan.

Sebaliknya, korban mungkin kehilangan kepercayaan pada sistem jika mereka melihat bahwa keadilan yang mereka terima sangat bergantung pada “keberuntungan” mendapatkan hakim yang tepat.

Paradoks Partisipasi dalam Struktur Sosial Hierarkis

Kekhawatiran kedua yang tidak kalah serius berkaitan dengan asumsi fundamental keadilan restoratif tentang partisipasi sukarela dan konsensus sejati dari semua pihak yang terlibat.

Paradigma restoratif mengasumsikan bahwa individu-individu yang terlibat dalam konflik hukum adalah agen yang besifat otonom yang dapat membuat keputusan rasional tentang kepentingan mereka sendiri tanpa paksaan eksternal. Asumsi ini, yang mungkin valid dalam konteks masyarakat egalitarian dengan struktur sosial yang relatif datar, menjadi sangat problematis dalam konteks Indonesia yang masih diwarnai oleh hierarki sosial yang kuat dan kekuatan yang tidak seimbang secara signifikan.

Dalam realitas sosial Indonesia, konsep “partisipasi sukarela” seringkali menjadi fiksi hukum yang menutupi berbagai bentuk tekanan yang lebih tidak terlihat namun tidak kalah powerful. Budaya Indonesia yang menekankan harmoni sosial dan menghindari konflik terbuka-yang dalam antropologi sering disebut sebagai “budaya menghindari konflik”-dapat menciptakan tekanan sosial yang kuat bagi korban untuk “memaafkan” dan menerima proses restoratif, meskipun secara internal mereka mungkin menginginkan keadilan yang lebih tegas (Clifford Geertz, 1973).

Fenomena ini menjadi lebih kompleks ketika melibatkan perbedaan kelas sosial ekonomi. Dalam banyak kasus, korban dari kalangan ekonomi lemah menghadapi dilema yang kejam: mereka dapat memilih proses peradilan formal yang panjang, mahal, dan tidak pasti hasilnya, atau mereka dapat menerima kesepakatan restoratif yang mungkin tidak proporsional namun memberikan kompensasi secara cepat. Pilihan ini, meskipun secara formal “sukarela,” pada dasarnya adalah produk dari paksaan struktural yang sistemik.

Sebaliknya, pelaku dari kalangan ekonomi mampu dapat memanfaatkan proses restoratif sebagai strategi untuk “membeli” keadilan. Mereka dapat menawarkan kompensasi finansial yang signifikan, yang dalam konteks ekonomi Indonesia yang masih timpang, dapat menjadi sangat menggoda bagi korban. Proses restoratif, yang seharusnya fokus pada pemulihan dan rekonsiliasi genuine, dapat berubah menjadi transaksi yang pada dasarnya memperpekuat ketidakadilan struktural.

Masalah ini diperparah oleh fakta, banyak hakim Indonesia belum memiliki training yang memadai untuk mendeteksi bentuk paksaan yang tidak terlihat atau pengaruh yang tidak semestinya. Persetujuan yang tulus bukanlah sesuatu yang dapat dilihat dari permukaan; ia memerlukan assessment yang mendalam tentang dinamika kekuasaan, keadaan psikologis, dan faktor kontekstual yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan. Tanpa kemampuan untuk melakukan asesmen ini secara akurat, hakim dapat secara tidak sengaja melegitimasi proses yang pada dasarnya eksploitatif.

Lebih jauh lagi, dalam konteks kasus-kasus yang melibatkan kekerasan berbasis gender atau kekerasan dalam rumah tangga, asumsi tentang partisipasi suka rela menjadi sangat bermasalah. Mediasi pelaku-korban dalam kasus-kasus seperti ini dapat membawa korban ke dalam situasi yang re-traumatizing dan dapat mereproduksi dinamika kekuasaan yang buruk. Namun, tekanan sosial dan ekspektasi budaya dapat membuat korban merasa “wajib” untuk berpartisipasi dalam proses restoratif demi “menyelamatkan keluarga” atau “menjaga nama baik.”

Instrumentalisasi Tradisi dan Risiko Relativisme Kultural

Kekhawatiran ketiga yang tidak kalah fundamental berkaitan dengan cara keadilan restoratif berinteraksi dengan tradisi hukum adat Indonesia. Dalam diskursus tentang keadilan restoratif di Indonesia, seringkali terdapat kecenderungan untuk meromantisasi tradisi-tradisi lokal sebagai perwujudan natural dari prinsip-prinsip restoratif. Pela gandong di Maluku, sistem dalihan na tolu dalam adat Batak, atau berbagai mekanisme penyelesaian konflik dalam tradisi Jawa sering dikutip sebagai bukti bahwa keadilan restoratif sebenarnya sudah “embedded” dalam budaya Indonesia (Hilman Hadikusuma, 2003).

Narasi ini, meskipun memiliki daya tarik yang kuat dan dapat memfasilitasi penerimaan keadilan restoratif dalam masyarakat, mengandung bahaya yang serius. Pertama, ia cenderung mengabaikan fakta bahwa banyak tradisi hukum adat Indonesia, meskipun memiliki elemen-elemen restoratif, juga mengandung praktik-praktik yang diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia modern. Kedua, ia dapat menciptakan kesetaraan palsu antara mekanisme tradisional dengan keadilan restoratif modern, padahal keduanya beroperasi dalam konteks filosofis dan struktural yang sangat berbeda.

Dalam banyak sistem hukum adat Indonesia, penyelesaian konflik memang menekankan pemulihan harmoni sosial, namun seringkali dengan mengorbankan hak-hak individual, terutama hak-hak perempuan dan kelompok minoritas. Sebagai contoh, dalam beberapa tradisi, penyelesaian kasus perkosaan melalui perkawinan antara pelaku dan korban masih dianggap sebagai solusi yang “restoratif” karena dapat “menyelamatkan kehormatan keluarga” dan “memulihkan keseimbangan sosial.” Praktik seperti ini, jika dilegitimasi dalam nama keadilan restoratif, dapat menciptakan regresi yang berbahaya dalam perlindungan hak asasi manusia.

Hakim Indonesia menghadapi dilema yang kompleks dalam hal ini. Di satu sisi, mereka dituntut untuk sensitif terhadap nilai-nilai lokal dan tidak mengimpose standar-standar yang dianggap “asing” atau “Western.” Di sisi lain, mereka juga harus memastikan, proses restoratif yang mereka fasilitasi tidak melanggar prinsip-prinsip konstitusional tentang kesetaraan dan non-diskriminasi. Tensi ini menjadi lebih akut dalam konteks Indonesia yang sedang mengalami proses membangun peradaban, di mana identitas nasional yang modern harus didamaikan dengan keragaman tradisi lokal.

Lebih jauh lagi, instrumentalisasi tradisi adat dalam keadilan restoratif dapat menciptakan “frozen authenticity”-sebuah fenomena di mana tradisi-tradisi yang sebenarnya dinamis dan terus berevolusi direduksi menjadi praktik yang statis dan bersifat stereotip (Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger (eds.), 1983). Hal ini tidak hanya merugikan komunitas-komunitas adat yang tradisinya di-instrumentalisasi, tetapi juga dapat menciptakan ekspektasi yang tidak realistis tentang apa yang dapat dicapai oleh keadilan restoratif.

Masalah lain yang muncul adalah apa yang bisa disebut sebegai “ penerapan relativisme budaya secara selektif “. Dalam banyak kasus, perhatian kepada tradisi lokal hanya dilakukan ketika hal tersebut di rasa pas atau nyaman untuk mencapai hasil tertentu, sementara aspek-aspek lain dari tradisi yang sama diabaikan. Hal ini dapat menciptakan bentuk penjajahan budaya yang samar, di mana tradisi-tradisi lokal direduksi menjadi alat untuk melegitimasi agenda-agenda tertentu.

Strategi Antisipasi: Membangun Keadilan Restoratif yang Substantif

Menghadapi kekhawatiran-kekhawatiran yang telah diuraikan di atas, diperlukan strategi antisipasi yang komprehensif dan multiaspek. Pertama, dalam hal legitimasi dan konsistensi, sistem peradilan Indonesia memerlukan pengembangan kerangka kerja yang lebih kokoh untuk menentukan kapan dan bagaimana keadilan restoratif dapat diterapkan. Hal ini bukan berarti menciptakan aturan rigid yang menghilangkan fleksibilitas, melainkan mengembangkan prinsip diskresi yang dapat memberikan panduan yang jelas kepada hakim sambil tetap mempertahankan ruang untuk putusan yang bersifat kontekstual.

Pengembangan assessment tools yang terstandarisasi untuk mengevaluasi kesesuaian dalam proses pemulihan pada setiap kasus menjadi krusial. instrumen ini harus mencakup evaluatsi tentang dinamika kekuasaan, partisipasi sukarela, kemungkinan restorasi yang berhasil, dan potensi untuk melakukan tindak pidana lagi. Database yang komprehensif tentang preseden-preseden restoratif juga perlu dikembangkan untuk memfasilitasi konsistensi tanpa kekakuan.

Kedua, untuk mengatasi masalah partisipasi dan ketidakseimbangan kekuasaan, diperlukan panduan institusional yang dapat memastikan persetujuan tulus dan melindungi pihak yang rentan terhadao eksploitasi. Hal ini mencakup apa yang bisa disebut sebagai mandatory cooling-off periods, kehadiran advokat independen untuk korban, dan pelatihan khusus untuk hakim dalam mendeteksi tanda-tanda adanya paksaaan atau pengaruh yang tidak semestinya ada (John Braithwaite, 2002).

Sistem monitoring dan evaluation yang independen, juga perlu dikembangkan untuk mengawasi proses-proses restoratif dan memastikan bahwa mereka tidak menjadi kendaraan untuk melestarikan ketidakadilan struktural. Mekanisme tindak lanjut yang dapat mengevaluasi hasil jangka panjang dari proses restoratif juga penting untuk memastikan bahwa restorasi yang dicapai adalah tulus dan berkelanjutan.

Ketiga, dalam hal intregasi budaya, diperlukan pendekatan yang nuanced yang dapat menghargai wisdom dari tradisi-tradisi lokal sambil tetap mempertahankan komitmen terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia. Hal ini memerlukan dialog berkelanjutan antara akademisi hukum, antropologis, pemimpin kelompok adat, dan aktivis HAM untuk mengidentifikasi elemen-elemen dari tradisi lokal yang benar-benar kompatibel dengan keadilan restoratif modern, sambil juga mengidentifikasi practices yang perlu dimodifikasi atau ditolak.

Program pendidikan dan pelatihan yang komprehensif untuk hakim, yang mencakup tidak hanya aspek-aspek teknis dari keadilan restoratif tetapi juga sensitivitas budaya dan kesadara Hak Asasi Manusia, menjadi investasi yang krusial. Hakim perlu dibekali dengan kemampuan untuk menjelajahi medan budaya yang kompleks sambil tetap mempertahankan komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip pancasila dan konstitusi.

Kesimpulan

Keadilan restoratif sebagai paradigma yang menjanjikan dalam evolusi sistem peradilan modern, menghadirkan kesempatan yang signifikan namun juga menantang yang tidak boleh diremehkan. Dalam konteks Indonesia, dengan kompleksitas sosial, budaya, dan strukturalnya yang unik, implementasi keadilan restoratif memerlukan kehati-hatian dan kebijaksanaan yang tinggi.

Kekhawatiran-kekhawatiran yang telah diuraikan-mengenai legitimasi dan konsistensi, partisipasi dan kekuasaan yang dinamis, serta integrasi budaya-bukanlah argumen untuk menolak keadilan restoratif, melainkan seruan untuk mengadakan pendekatan yang lebih bijaksana dan komprehensif dalam implementasinya. Seperti yang telah dipelajari dari berbagai eksperimen institusional di berbagai negara, sukses dari suatu inovasi sistem peradilan tidak hanya bergantung pada theoretical merit dari ide tersebut, tetapi juga pada kualitas implementasi dan kelayakan terhadap konteks lokal.

Hakim Indonesia, sebagai penjaga gerbang utama dalam proses ini, memiliki tanggung jawab yang besar untuk memastikan bahwa keadilan restoratif tidak menjadi sekedar cara yang dangkal, melainkan kontribusi asli terhadap penciptaan sistem peradilan yang lebih adil, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini memerlukan komitmen yang berkelanjutan terhadap pembelajaran, adaptasi, dan perkembangan berkelanjutan dalam praktik mereka (Tom R Tyler, 1980).

Akhirnya, kesuksesan dari keadilan restoratif di Indonesia akan menjadi test case yang penting untuk memahami bagaimana inovasi konsep hukum dapat diadaptasi dalam konteks pembangunan negara dengan tantangan struktural yang kompleks. Pembelajaran yang dapat diambil dari eksperimen ini akan memiliki implikasi yang jauh melampaui batas negara Indonesia dan dapat memberikan kontribusi yang bernilai terhadap diskursus global tentang reformasi sistem peradilan.

Penulis: Muamar Azmar Mahmud Farig

Sumber : Humas MA

Pewarta : Arif prihatin