SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Selasa,10 Juni 2025. Empati dan rasio adalah elemen penting yang setidaknya perlu direnungkan lebih lanjut oleh para hakim.
“Just as today, in a further step in this direction, the course of history and society is gradually emerging from the mists of personal affects and involvement, from the haze of collective longings and fears, and beginning to appear as a relatively autonomous nexus of events; so too with nature and-within smaller confines-with human beings.”
Norbert Elias (The Civilizing Process).
Berbagai konflik yang terjadi di dunia saat ini belum menemukan titik damai. Perang Rusia-Ukraina, krisis iklim global, dan berbagai peristiwa kekerasan yang seolah terjadi hampir setiap hari memberi kesan bahwa manusia adalah sosok “brutal” yang tidak pernah akan lepas dari pepatah “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
Steven Pinker mengatakan, lepas dari brutalitas yang terjadi di dunia saat ini, umat manusia sudah jauh lebih beradab (Pinker, 2011). Pinker memberi penekanan pada rasionalitas manusia sebagai sumber utama dari pemberadaban ini (Pinker, 2021). Manusia, lanjut Pinker, terlibat dalam tiga tahapan utama proses terbentuknya, entropi, evolusi, dan informasi (Pinker, 2018). Perannya yang fundamental setidaknya menjadi tonggak dari sejarah baru di muka bumi.
Menurut Pinker, dari ketiga elemen tersebut, entropi dan evolusi berjalan secara alami. Sementara, informasi adalah arus yang mengendalikan keduanya. Dengan informasi, manusia bisa menegasi kehadiran entropi. Dengan informasi, kita bisa mengendalikan evolusi. Penyakit dan konflik adalah bentuk entropi yang berjalan secara alami. Manusia bisa mengendalikannya lewat data kesehatan dan upaya kerjasama antarnegara.
Perubahan genetika yang disengaja, seperti metode “pengguntingan” ADN (Asam Deoksiribo Nukleat) dengan teknik CRISPR/Cas-9 (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats/Associated Protein 9) dalam aplikasi membentuk kode genetik bahan pangan baru (Henderson, Ramit, Murdock & Halpern, 2024), adalah bentuk pengendalian proses evolusi yang sebelumnya hanya mungkin terjadi secara natural. Sosiolog yang juga banyak dikaji oleh filsuf hukum adalah Norbert Elias, memperkenalkan konsep keterlibatan (involvement) dan penjarakkan (detachment) sebagai bagian dari proses pemberadaban (Elias, 1978[2013]). Lebih lanjut, dalam The Established and the Outsiders (1974[1994]), Elias mengajukan konsep kedua yang cukup sentral: figurasi (figuration).
Melibatkan dan Menjarakkan
Elias mencoba memberikan jangkar tentang proses pemberadaban yang berlangsung tanpa henti sejak sejarah manusia dimulai. Menurut Elias, “The ‘world picture’ gradually becomes less directly determined by human wishes and fears, and more strongly orientated to what we call ‘experience’ or ‘the empirical’ sequences with their own immanent regularities” (Gambaran dunia secara bertahap menjadi kurang ditentukan secara langsung oleh keinginan dan ketakutan manusia, serta semakin berorientasi pada apa yang kita sebut sebagai pengalaman atau rangkaian empiris dengan keteraturan imanen yang melekat di dalamnya) (Elias, 1978[2013]:478). Singkatnya, bagi Elias cara manusia memberadab bersifat eksperiensial (didasarkan atas pengalaman).
Dalam garis pemikiran Elias, keterlibatan adalah elemen awal dalam pembentukan jejaring sosial. Keterikatan emosional dalam menjalin hubungan bisnis, misalnya, adalah contoh dari karakter semacam ini. Di sisi lain, penjarakan ada dalam aturan atau perikatan yang mengatur kemitraan-tidak terkecuali mitra dagang. Ada berbagai pasal yang menjarakkan seseorang dengan rekanan bisnisnya.
Titik pemberadaban dalam pemikiran Elias terjadi saat keterlibatan dan penjarakkan berlangsung bersamaan, atau “detached involvement” (keterlibatan yang dijarakkan). Melibatkan seseorang berarti memastikan keberadaan elemen empatinya, sedangkan jarak yang tercipta oleh instrumen legal mencegah atau memitigasi terjadinya konflik. Namun elemen ini tidak akan lengkap tanpa proses figurasi.
Jejaring sosial, menurut Elias adalah “bangun-bangun” yang solid-atau “the established”. Untuk membentuk bangunan sosial, dibutuhkan kelompok yang bertolak belakang dengan bagian inti tersebut. Elias menamainya “the outsider”. Kumpulan orang yang mengikatkan diri adalah contoh dari bangunan tersebut-yang sering disebut “in-group”.
Sisi opositorisnya adalah “out-group”. Sisi dalam bagi Elias selalu membutuhkan sisi luar, sehingga bentuk (figur) dari “the established” ditentukan oleh “the outsider” (Elias, 1974[1994]: 15-18). Masalah hukum sebenarnya segaris dengan dengan proses figurasi ini (Bucholc, 2014). Situasi yang terjadi di Polandia dengan pemerintah dari partai sayap kanan PiS (Prawo i Sprawiedliwość-Hukum dan Keadilan) dapat kita pergunakan untuk menjelaskan teori figurasi ini.
PiS sejak 2015 menempatkan diri sebagai the outsider dalam sistem politik Polandia, terutama setelah kasus terkait pemilihan hakim Mahkamah Konstitusi dalam masa jabatan parlemen sebelumnya (mencuat dalam kasus Xero Flor w Polsce sp. z o.o. v Poland).
Presiden terpilih yang didukung PiS menolak mengesahkan hakim-hakim yang dipilih oleh parlemen sebelumnya, yang menyebabkan ketegangan antara parlemen baru yang dipimpin PiS dengan Mahkamah Konstitusi. Konflik ini memunculkan krisis konstitusional di mana lembaga-lembaga negara tidak berfungsi sesuai prosedur dan prinsip hukum yang berlaku (Szwed, Cambridge 7 Mei 2021), dan ini memperlihatkan bagaimana gesekan antara kelompok the established dan the outsider membentuk dinamika politik dan hukum di Polandia. Proses figurasi di Polandia berlangsung secara problematik. Pakar hukum Polandia, Martha Bucholc (2014) melihat bahwa tanpa ada kepekaan figuratif ini, maka hukum hanya selalu menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan.
Dua Perspektif dalam Pemberadaban
Pandangan Elias, dan juga Pinker, berasal dari ide sentral Hobbesian (dari pemikir Thomas Hobbes) bahwa manusia selalu punya kecenderungan (betapapun kecilnya) untuk beriktikad “jahat” terhadap sesamanya.
Senada dengan Hobbes, dalam pemikiran filsuf Frederic Jameson, manusia yang sekarang mayoritas tinggal di daerah urban (Statista, 30 Oktober 2020) adalah “buruh” dari “pabrik raksasa” yang dikuasai segelintir pemilik modal (Jameson, 1991).
Pandangan negatif terhadap manusia ini, dapat kita lihat praktiknya di pemeriksaan karyawan. Saat petugas keamanan memeriksa pekerja sebelum masuk area produksi, maka mereka diasumsikan sebagai pihak yang berpotensi melakukan perbuatan melawan hukum dalam bentuk mencuri bahan baku. Seturut ilustrasi ini, petugas keamanan berusaha “memberadabkan buruh” dengan menyisir tas dan seragam yang dibawa oleh pekerja. Pemberadaban identik dengan “membuat jadi beradab”.
Filsuf sosial Rutger Bregman mencoba menawarkan gagasan sebaliknya, yang diangkat dari pemikiran Jean-Jacques Rousseau. Menurut Bregman, kita sudah selalu beradab, sehingga memberadabkan justru identik dengan “mematangkan semakin beradab”. Bila dalam pemikiran Pinker manusia mulai dengan konflik, dalam Bregman Homo sapiens berawal dari kerja sama.
Sejarah, lanjut Bregman, tidak mungkin dibangun di atas kecurigaan, kekejaman, dan hal-hal sejenisnya (Bregman, 2020). Dalam garis pemikiran Bregman, tugas hukum sebagai elemen penjarakkan (detachment) tidak berarti bertolak belakang dengan keterlibatan (involment). Dalam analogi sederhananya, bila menurut Elias hukum bekerja sebagai “rem konflik,” maka Bregman lebih memilih hukum menjadi “pelumas mesin kerja sama.”
Peran Hakim dalam Disposisi “Detached Involvement”
Empati dan rasio adalah elemen penting yang setidaknya perlu direnungkan lebih lanjut oleh para hakim. Sebagai ilustrasi, dalam kasus Taunoa v The Attorney General di Selandia Baru pada 2007. Mahkamah Agung di negara tersebut, menjernihkan persoalan yang terjadi di sebuah lembaga pemasyarakatan (lapas). Tiga narapidana menggugat pengelola lembaga tersebut karena dianggap memperlakukan mereka secara tidak manusiawi.
Dari sisi keterlibatan, Majelis Hakim menilai, memang ada kesalahan prosedur, namun dari sisi penjarakkan, putusan akhir menolak mengategorikan praktik di lapas tersebut sebagai tidak manusiawi (Taunoa and Ors v The Attorney General and Anor – [2007] NZSC 70 SC 6/2006). Ini menunjukkan, hakim bisa bertindak empatetik dan rasional. Ciri beradab ini adalah inti dari misi intelektual Elias.
Dengan demikian, dalam menghadapi berbagai tantangan sosial dan politik kontemporer, pemahaman terhadap konsep keterlibatan dan penjarakkan Norbert Elias menawarkan kerangka yang sangat relevan. Proses pemberadaban tidak hanya melibatkan pengendalian atas tindakan manusia, tetapi juga penghargaan terhadap dimensi emosional dan pengalaman sosial yang membentuk jejaring hubungan.
Melalui contoh kasus seperti krisis konstitusional Polandia dan putusan pengadilan di Selandia Baru, kita dapat melihat bagaimana hukum berperan sebagai penyeimbang antara empati dan rasio, antara keterikatan sosial dan aturan formal yang mengatur hubungan antarindividu maupun kelompok.
Oleh karena itu, integrasi konsep-konsep ini dalam praktik peradilan dan kebijakan publik sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya tertib secara hukum, tetapi juga manusiawi dan empatetik. Proses pemberadaban, sebagaimana dipahami Elias dan diperkaya oleh pemikiran para filsuf kontemporer, adalah perjalanan panjang yang menuntut keseimbangan antara “mendekatkan” dan “menjauhkan.”
Penulis: Muhammad Afif
Sumber : Humas MA
Pewarta : Arif prihatin