Keadilan Restoratif di Pengadilan Negeri: Teori dan Praktik

News17 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Rabu,18 Juni 2025. Penerapan keadilan restoratif pada persidangan pengadilan negeri di operasionalisasi sebagai mekanisme, metode, dan sarana untuk mencapai tujuan pemulihan korban, pemulihan hubungan korban dan terdakwa, pemenuhan tanggung jawab terdakwa, serta menghindarkan (khususnya anak) dari perampasan kemerdekaan.

Dalam sistem peradilan pidana ortodoks, orientasi penegakan hukum pidana terletak pada pelaku dan tindak pidana. Dalam konteks tersebut, keadilan retributif menjadi core utama dalam penegakan hukum pidana. Hukum pidana dimobilisasi untuk menegakkan norma publik, dengan menekankan pada penjatuhan sanksi perampasan kemerdekaan.

Penderitaan korban secara fisik, ekonomi, dan mental, akan disimiliaritaskan dengan jangka waktu atau lamanya hukuman perampasan kemerdekaan, sebagai sebuah kalkulasi pemenuhan keadilan. Bahkan sanksi pidana yang bersifat materil, dalam hal ini denda, larinya ke penerimaan negara, serta bukan ditujukan kepada korban.

Awalnya, sanksi ganti rugi dalam perkara pidana tidak lazim dikenal, karena praktik ganti rugi sendiri bersifat privat, sedangkan hukum pidana merupakan hukum publik. Hal tersebut, dapat terjadi karena hukum pidana diorkestrasi terbatas sebagai sengketa antara negara (eksekutif) yang diwakili oleh kepolisian dan kejaksaan melawan terdakwa (person/subjek hukum), karena terlanggarnya hukum publik, dalam hal ini hukum pidana.

Dalam orkestrasi tersebut, hukum pidana hanya mengejawantah sebagai sengketa publik, yang mengkonstruksikan negara sebagai pihak yang memiliki kepentingan utama atas terjadinya suatu tindak pidana. Padahal, jika terjadi suatu tindak pidana, korban yang jadi pihak utama, karena kepentingan hukumnya terenggut.

Konstruksi korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia, mengalami marginalisasi atau peminggiran secara normatif. Marginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana dilatarbelakangi eksistensi hukum pidana materiil (KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP) yang beraliran daad-dader-strafrecht, sehingga definisi korban tidak diatur dalam KUHP dan KUHAP.

Padahal, subjek hukum lain, tersangka/terdakwa dan saksi diatur definisi, serta hak-hak hukumnya secara limitatif. Di sisi lain, korban sebagai pihak yang paling dirugikan dalam terjadinya tindak pidana, justru tidak mendapatkan atensi.

KUHP Nasional yang diberlakukan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang 73 Tahun 1958 merupakan translate dari KUHP Belanda, yang dibentuk 1881 dan selanjutnya diberlakukan 1886, masih sangat kuat beraliran daad-strafrecht (fokus pada perbuatan) dan kemudian daad-dader strafrecht (fokus perbuatan dan orang), dengan paradigma retributif yang kuat, sehingga hal ini menyebabkan korban tidak mendapatkan atensi dan termarginalisasi dalam sistem peradilan pidana.

Sedangkan dalam konteks hukum acara pidana, sebelum eksistensi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, maka yang berlaku adalah HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan merupakan operasionalisasi paradigma retributif (fokus pada orang dan perbuatan), dari KUHP dengan atensi kecepatan penegakan hukum pidana, sehingga hak-hak pelaku seringkali tidak diperhatikan dan dilanggar.

Kemudian keberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, juga belum memberikan perhatian terhadap peran dan perlindungan terhadap korban mengingat spirit pembentukan KUHAP adalah memperkuat due process of law, dalam hal ini sebatas perlindungan hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana) dan penguatan akuntabilitas mekanisme kinerja penegak hukum.

Fokus KUHAP, melindungi tersangka/terdakwa/terpidana dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, sebagaimana yang terjadi saat berlakunya HIR. Kondisi ini menyebabkan perhatian kepada hak dan perlindungan korban, menjadi sangat minim dan termarjinalkan. Setelah lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana tahun 2006, konsep restitusi dan kompensasi melembaga dalam berbagai aturan pidana khusus, seperti UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU Sistem Peradilan Anak tahun 2012, melembagakan konsep diversi dalam penyelesaian perkara anak yang menekankan penyelesaian perkara anak, dengan titik tumpu tanggungjawab pelaku, pemenuhan hak dan kepentingan korban, serta restorasi hubungan antara pelaku dan korban dengan minimalisasi pemenjaraan.

Transformasi demarginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana, menjadi semakin bertumbuh dengan pembentukan peraturan-peraturan internal penegak hukum yang besifat keadilan restoratif, dengan spirit keberpihakan pada korban, seperti Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana, hingga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Walaupun peraturan-peraturan internal penegak hukum tersebut, masih bersifat sektoral dan belum ada keserempakan. Namun spirit, mengkonstruksikan korban dalam posisi centre of attention menjadi sebuah angin segar, bagi perkembangan hukum pidana kedepan. Jadi, secara spirit, transformasi pendekatan keadilan restoratif dalam penegakan hukum pidana dilatarbelakangi, marginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana. Meskipun, secara fungsional, implementasi pendekatan keadilan restoratif, juga dipengaruhi kebutuhan-kebutuhan praktis (over capacity lapas, pemenuhan rasa keadilan dalam perkara-perkara ringan dll).

Keadilan Restoratif dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2024

Mahkamah Agung melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (PERMA RJ), di mana aturan ini berlaku di peradilan umum atau pengadilan negeri, mendefinisikan keadilan restoratif sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana, yang dilakukan dengan melibatkan para pihak, baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, serta bukan hanya pembalasan.

Sebagai sebuah pendekatan, penerapan keadilan restoratif pada persidangan pengadilan negeri di operasionalisasi sebagai mekanisme, metode, dan sarana untuk mencapai tujuan pemulihan korban, pemulihan hubungan korban dan terdakwa, pemenuhan tanggung jawab terdakwa, serta menghindarkan (khususnya anak) dari perampasan kemerdekaan.

Tiga hal substansial, yang akan dibahas terkait pendekatan keadilan restoratif pada persidangan perkara pidana di pengadilan, yakni terkait syarat atau kualifikasi perkara yang dapat diterapkan, dengan pendekatan keadilan restoratif, hasil pendekatan keadilan restoratif, dan implikasi pendekatan keadilan restoratif.

Terkait syarat dan kualifikasi perkara yang dapat diterapkan dengan pendekatan keadilan restoratif, (apabila memenuhi salah satu syarat) mengacu pada Pasal 6 ayat (1) Perma RJ, yang terdiri dari tindak pidana ringan atau kerugian materil korban maksimal Rp2.500.000 atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat, tindak pidana delik aduan, tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dalam salah satu dakwaan, tindak pidana dengan pelaku anak yang diversinya tidak berhasil, tindak pidana lalu lintas yang merupakan kejahatan.

Selanjutnya, menurut Pasal 6 ayat (2) PERMA RJ, hakim tidak berwenang mengadili perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif, bilamana korban atau terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian, terdapat relasi kuasa, terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu tiga tahun sejak terdakwa selesai menjalani putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Secara prosedur, mengacu Pasal 7 Perma RJ, pada hari sidang pertama, setelah kuasa penuntut umum atau penuntut umum membacakan berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau surat dakwaan dan terdakwa menyatakan mengerti berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau isi dakwaan penuntut umum, hakim memberikan kesempatan, kepada terdakwa untuk membenarkan atau tidak membenarkan perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Pernyataan terdakwa yang membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai juga dengan tidak diajukannya nota keberatan oleh terdakwa, maka proses persidangan dapat langsung dilanjutkan, disertai dengan mekanisme keadilan restoratif.

Dalam hal terdakwa, tidak membenarkan perbuatan yang didakwakan, membenarkan hanya sebagian, dan/atau mengajukan keberatan atas dakwaan yang diajukan, pemeriksaan perkara dilanjutkan, sesuai dengan hukum acara. Dalam konteks ini, maka prasyarat untuk dilakukan mekanisme keadilan restoratif adalah pengakuan absolut terdakwa terhadap dakwaan, yang didakwakan padanya.

Jika dapat dilakukan pendekatan keadilan restoratif, maka hakim menanyakan kepada penuntut umum perihal kehadiran korban dalam persidangan. Dalam hal korban hadir dalam persidangan, hakim memulai pemeriksaan keterangan korban dengan terlebih dahulu menanyakan kepada korban perihal kronologis tindak pidana yang dialami oleh korban, kerugian yang timbul dan/atau kebutuhan korban sebagai akibat tindak pidana ada atau tidak perdamaian antara terdakwa dan korban sebelum persidangan dan pelaksanaan kesepakatan atau perjanjian yang timbul dari perdamaian tersebut, dalam hal telah ada perdamaian.

Bilamana korban tidak hadir di persidangan, hakim menunda persidangan paling lama 7 (tujuh) hari dan memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan korban serta alat bukti lain pada persidangan berikutnya. Dalam hal korban meninggal dunia, kepentingan korban dalam persidangan diwakili oleh ahli waris korban.

Dalam hal korban menerangkan dalam persidangan, telah terjadi perdamaian sebelum persidangan serta seluruh kesepakatan sudah dilaksanakan, hakim berwenang memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara terdakwa dan korban, hakim dapat menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan dalam putusan dan melanjutkan proses pemeriksaan.

Bilamana korban menerangkan, telah terjadi perdamaian antara terdakwa dan korban sebelum persidangan, namun sebagian atau seluruh kesepakatan belum dilaksanakan oleh terdakwa, hakim menanyakan kepada terdakwa, alasan tidak dilaksanakannya kesepakatan tersebut.

Dalam hal terdakwa, menyatakan tidak sanggup melaksanakan kesepakatan, hakim menanyakan kesediaan korban, untuk membuat kesepakatan baru yang sanggup dilaksanakan oleh terdakwa. Seandainya, korban bersedia membuat kesepakatan baru dengan terdakwa, hakim mengupayakan tercapainya kesepakatan baru yang disanggupi oleh terdakwa dan korban.

Kondisi korban menerangkan, belum pernah melakukan perdamaian antara terdakwa dan korban, hakim menganjurkan kepada terdakwa dan korban untuk menempuh atau membuat kesepakatan perdamaian. Saat, mengupayakan tercapainya kesepakatan baru sebagaimana Pasal 10 ayat (3) PERMA RJ atau kesepakatan perdamaian (bila sebelumnya tidak ada kesepakatan damai), hakim menggali informasi dampak tindak pidana terhadap korban, kerugian ekonomi dan/atau kerugian lain yang timbul sebagai akibat tindak pidana, biaya perawatan medis dan/atau psikologis yang sudah dan akan dikeluarkan korban, kemampuan terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan, ketersediaan layanan untuk membantu pemulihan korban dan/atau terdakwa dan/atau informasi lain yang menurut hakim perlu untuk diperiksa dan dipertimbangkan. Hakim menempuh pendekatan keadilan restoratif paling lambat sebelum diajukan tuntutan pidana.

Hasil dan Implikasi Penerapan Keadilan Restoratif

Hasil pendekatan keadilan restoratif, adalah kesepakatan perdamaian, sebagaimana Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 13 Perma RJ, yang dapat berbentuk terdakwa mengganti kerugian, terdakwa melaksanakan suatu perbuatan dan/atau terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan. Kesepakatan tersebut, dilarang memuat ketentuan yang bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan, melanggar hak asasi manusia, merugikan pihak ketiga atau tidak dapat dilaksanakan.

Sedangkan implikasi, penerapan keadilan restoratif mengacu Pasal 14 Perma RJ. Apabila perkara berbentuk delik aduan, kesepakatan dapat berupa melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dan korban menarik pengaduannya, sepanjang masih dalam tenggang waktu yang ditentukan undang-undang. Kesepakatan penarikan pengaduan, sebagaimana dirumuskan dalam perjanjian perdamaian, secara hukum telah dianggap terlaksana, saat perjanjian tersebut ditandatangani di depan hakim, sehingga hakim berwenang menyatakan penuntutan gugur atau tidak dapat diterima.

Merujuk Pasal 19 Perma RJ, bahwa kesepakatan perdamaian dan/atau kesediaan terdakwa bertanggung jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan korban, menjadi alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan, hakim dapat menerapkan dengan syarat umum dan/atau syarat khusus untuk menjatuhkan alternatif pemidanaan selain pidana penjara terhadap terdakwa dan/atau menjamin terpenuhinya kesepakatan antara terdakwa dan korban, serta memulihkan kerugian korban.

Syarat umum penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan oleh hakim, dalam hal tindak pidana yang dilakukan dapat diberikan pidana bersyarat/pengawasan dan terdakwa layak untuk dipidana dengan pidana bersyarat/pengawasan, terdakwa telah melaksanakan seluruh kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Perma RJ atau terdakwa sudah mencapai kesepakatan dengan korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) PERMA RJ.

Adapun syarat khusus, penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan yang dapat dijatuhkan hakim, dalam hal terdakwa telah mencapai kesepakatan dengan korban, namun belum melaksanakan seluruh atau sebagian isi kesepakatan tersebut atau terdakwa dan korban tidak dapat mencapai kesepakatan perdamaian.

Syarat umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (3) Perma RJ, dijatuhkan untuk paling lama tiga tahun. Dalam penjatuhan syarat khusus sebagai bagian dari pidana bersyarat/pengawasan, sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim dapat mengacu kepada sebagian atau seluruh isi kesepakatan yang belum dilaksanakan.

Jadi, implikasi penerapan keadilan restoratif yakni penghentian perkara karena penuntutan gugur atau tidak dapat diterima (khusus untuk delik aduan), serta menjadi alasan yang meringankan hukuman atau menjadi pertimbangan untuk penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan (khusus anak).

Penulis: Pradikta Andi Alvat

Sumber : Humas MA

Pewarta : Arif prihatin