Menyikapi Kegugupan Bersidang, Kiat bagi Hakim Pertama

News18 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Kamis,19 Juni 2025. Hakim dalam bersidang sebaiknya menampung pikiran kehati-hatian dan menggunakannya dengan strategi positif untuk menyikapinya agar tidak terbawa kepanikan melainkan justru mengoptimalkan penguasaan persidangan.

Ruang persidangan menjadi tempat yang menyeramkan bagi orang yang masih asing dengan pengadilan. Pasalnya, penampilan ruang sidang begitu bersih dan megah. Kemegahan dan kebersihan itu sendiri sudah dapat mengintimidasi orang yang tidak terbiasa dengan suasana yang begitu ‘suci’. Hal tersebut dapat terjadi bukan hanya pada masyarakat para pencari keadilan, tetapi dapat terjadi juga kepada aparatur penegak hukum khususnya hakim-hakim.

Kepada hakim-hakim yang baru bertugas pertama kali sebagai hakim pertama di pengadilan setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan hakim, tidak dapat dinafikan pasti adanya kegugupan dalam bersidang. Dalam pendidikan dan pelatihan hakim, para calon hakim tidak pernah dihadapkan dengan realita kepentingan masyarakat secara langsung. Para calon hakim hanya dihadapkan dengan simulasi atau peradilan semu yang tidak riil.

Ketika para hakim pertama kali memasuki ruang sidang dan melihat wajah nyata para pihak yang berperkara di pengadilan, maka ada kecanggungan yang dihadapi oleh para hakim yang baru pertama kali bersidang. Mereka mengerti sudah tidak ada skenario latihan, tidak ada waktu perbaikan, yang ada hanyalah kondisi nyata dan semua tergantung dari kepemimpinan para hakim sebagai pengatur jalannya persidangan.

Kecanggungan bersidang untuk pertama kali tersebut jika tidak disikapi dengan tenang dapat berujung pada kekhawatiran dan kepanikan yang dikenal dengan istilah demam panggung atau stage fright. Menurut Magda Arnold, demam panggung bermula dari adanya stimulus yaitu fakta kebaruannya seseorang mengalami suatu pengalaman, kemudian timbul pikiran yang akan menghasilkan reaksi psikologis disertai dengan akibat timbulnya emosi (Arnold:1960).

Kekhawatiran dan kepanikan dalam memimpin sidang memang patut diwajarkan oleh karena adanya hiperrealisme yang dibangun oleh masyarakat yang awam hukum disertai dengan pikiran inheren hakim baru itu sendiri (baca tulisan Hiperrealisme oleh Muamar di https://marinews.mahkamahagung.go.id/hukum/hiperrealisme-di-pengadilan-konsep-dan-penerapannya-0em)

Untuk menangani kekhawatiran bersidang tersebut, teknik psikologi yang dapat diterapkan adalah kontemplasi pikiran daripada pemikiran sebagaimana yang ditegaskan oleh Joseph Nguyen yang menyebutkan “Pikiran membangun, pemikiran menghancurkan” (Nguyen:2025).

Pikiran pada dasarnya adalah adalah materi energetik mentah yang kita ciptakan di dunia. Sifatnya tidak positif ataupun negatif. Pikiran itu netral. Akan tetapi, ketika memikirkan pikiran itu sendiri, timbul percampuran emosi negatif dan positif yang akan didominasi berdasarkan pengalaman nyata subjek yang tidak jarang menimbulkan keraguan, ketidakpantasan, rasa bersalah, rasa malu, hingga berujung panik.

Dalam persidangan, tidak ada kewajiban bagi hakim untuk memikirkan pikiran atau menilai pikiran internal dari hakim itu sendiri. Hal yang perlu dipikirkan oleh hakim adalah hukum acara persidangan yang dijalani dan keyakinan bahwa hakim memang berwenang untuk memimpin dan mengatur jalannya persidangan sebagaimana telah dipertegas dalam Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Menutup tulisan ini, hakim dalam bersidang sebaiknya menampung pikiran kehati-hatian dan menggunakannya dengan strategi positif untuk menyikapinya agar tidak terbawa kepanikan melainkan justru mengoptimalkan penguasaan persidangan dengan telah memikirkan kemungkinan terbaik dan kemungkinan terburuk dalam persidangan.

Penulis: Novritsar Hasintongan Pakpahan

Sumber : Humas MA

Pewarta : Arif prìhatin