SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Jum’at 04 juli 2025. Perempuan yang menjadi hakim menanggung beban ganda. Di satu sisi mereka dituntut profesional seperti rekan laki-laki, namun di sisi lain mereka masih harus membuktikan bahwa putusannya tidak dipengaruhi oleh sentimen personal.
Dalam dunia peradilan yang menjunjung tinggi prinsip objektivitas dan integritas, masih ada stereotip yang kerap melekat pada sosok hakim perempuan-bahwa mereka cenderung membuat putusan berdasarkan emosi. Anggapan ini bukan hanya keliru, tetapi juga bisa merusak kredibilitas dan profesionalitas perempuan yang mengabdi di lembaga peradilan.
Padahal, seluruh hakim-baik laki-laki maupun perempuan-terikat pada prinsip yang sama dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setiap putusan harus didasarkan pada fakta hukum, alat bukti, dan pertimbangan yuridis, bukan berdasarkan gender apalagi asumsi emosional.
Perempuan yang menjadi hakim menanggung beban ganda. Di satu sisi mereka dituntut profesional seperti rekan laki-laki, namun di sisi lain mereka masih harus membuktikan bahwa putusannya tidak dipengaruhi oleh sentimen personal. Tantangan ini nyata, terutama dalam perkara-perkara yang melibatkan isu sosial atau kekerasan berbasis gender.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi memiliki peran strategis dalam menghapus stigma ini. Salah satunya dengan memberikan pelatihan berkelanjutan tentang kesetaraan gender, serta memberikan ruang yang sama kepada hakim perempuan untuk menempati posisi strategis.
Dukungan terhadap hakim perempuan juga tampak dari meningkatnya jumlah perempuan yang dipercaya menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan di berbagai wilayah.
Penting pula bagi masyarakat dan media untuk tidak menghakimi putusan berdasarkan siapa hakimnya, melainkan bagaimana pertimbangan hukumnya. Narasi yang berkembang di publik harus diarahkan untuk menghargai kerja keras dan integritas para hakim, bukan memperkuat stereotip lama yang tak berdasar.
Harapan ke depan, sistem peradilan Indonesia semakin menjunjung prinsip meritokrasi-di mana setiap putusan dinilai dari kualitas hukum, bukan dari jenis kelamin hakimnya. Dengan begitu, perempuan di dunia kehakiman dapat terus berkembang tanpa harus terbebani stigma yang membatasi
Sumber : Humas MA
Pewarta : Arif prihatin