Filsafat Hukum dan Tantangan Era Digital: Antara Regulasi dan Etika

News22 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, –Rabu,09 juli 2025. Dalam keheningan data dan hiruk pikuk algoritma, hukum berpijak pada nilai, namun tetap menjadi suara jernih, membimbing umat manusia menuju keadilan yang tidak lekang zaman.

Gelombang digitalisasi mengubah wajah peradaban manusia. Informasi mengalir begitu cepat, teknologi kecerdasan buatan, dapat menggantikan peran pengambilan keputusan, dan batas antara ruang fisik dengan maya, semakin kabur. Di tengah transformasi ini, hukum menghadapi tantangan besar, yakni bagaimana hukum tetap relevan, adil, dan bermartabat di era, serba otomatis dan virtual?

Filsafat hukum hadir sebagai mercusuar di tengah gelombang perubahan tersebut. Tidak sekedar, menanyakan aturan apa yang perlu dibuat, tetapi menggali pertanyaan lebih dalam, mengapa hukum harus mengatur? dan untuk siapa hukum itu ada? Dalam konteks kemajuan dunia digital, pertanyaan ini jadi semakin penting. Sebab ruang digital, menyimpan potensi luar biasa, sekaligus bahaya yang tidak kasat mata.

Regulasi hukum seringkali tertinggal dari laju perkembangan teknologi. Teknologi digital, berkembang dalam hitungan minggu, namun penyusunan peraturan memakan waktu berbulan-bulan, bahkan hitungan tahun. Dalam ketertinggalan tersebut, hukum jadi gamang. Ketika data pribadi disalahgunakan, atau algoritma menentukan nasib seseorang, hukum dituntut hadir berikan perlindungan nyata.

Namun, tantangan digitalisasi bukan hanya persoalan teknis regulasi, melainkan persoalan nilai. Etika jadi fondasi, yang tidak bisa ditawar. Filsafat hukum, menegaskan aturan yang baik, bukan hanya tertulis, tetapi tumbuh dari kebajikan dan keinsafan moral. Di tengah derasnya arus digital, manusia perlu kompas etik, guna menavigasi arah.

Era digital membuka ruang partisipasi publik yang luas. Siapapun dapat bersuara, menyampaikan aspirasi, atau mengkritik lembaga hukum secara terbuka. Di satu sisi, ini menyehatkan demokrasi, namun sisi lainnya muncul ancaman disinformasi dan ujaran kebencian. Maka, filsafat hukum perlu menjawab, bagaimana jaga kebebasan, sekaligus tanggung jawab di ruang maya.

Perubahan pola interaksi sosial, juga menuntut pembaruan konsep hukum yang lebih responsif dan kontekstual. Norma-norma baru, harus lahir dari kebiasaan digital, seperti isu transaksi elektronik dan perlindungan data pribadi. Semua itu, perlu pemikiran hukum yang mampu menangkap realitas baru, tanpa kehilangan nilai-nilai hakiki.

Filsafat hukum mengajarkan keadilan tidak boleh hanya tertulis, tetapi harus terasa. Dalam konteks digital, ini berarti hukum harus mampu menyentuh korban kejahatan siber, melindungi privasi anak-anak di media sosial, dan mencegah diskriminasi berbasis data.Semua ini, butuhkan pendekatan hukum, yang berpijak pada nilai, bukan sekadar teknis.

Teknologi digital bisa menjadi berkah besar, jika dikelola dengan bijak. Dalam perspektif religius, kecanggihan teknologi, adalah amanah, bukan kuasa mutlak. Maka, hukum harus mengatur, bukan hanya apa yang mungkin dilakukan, tetapi apa yang sebaiknya dilakukan. Di sinilah, etika jadi penentu arah regulasi.

Tantangan besar lainnya, bagaimana menjaga martabat manusia, dalam sistem digital yang impersonal. Hukum, harus menjadi penjaga nilai-nilai kemanusiaan. Ketika algoritma, bisa menilai kelayakan seseorang, mendapatkan kredit, pekerjaan, atau asuransi, hukum harus memastikan proses tersebut, adil dan tidak bias.

Filsafat hukum era digital, menuntut kehadiran nilai-nilai universal seperti keadilan, transparansi, tanggung jawab, dan perlindungan yang seimbang, antara individu dan kolektif. Tanpa landasan ini, digitalisasi hukum, hanya akan lahirkan sistem yang cepat, tetapi kosong dari nurani.

Regulasi baik, bukan yang paling canggih, tetapi paling bermakna. Wujudnya, mampu menjawab kebutuhan zaman, tanpa kehilangan roh nilai. Filsafat hukum, upaya menjaga agar hukum tidak dibutakan teknologi, tetapi justru tercerahkan olehnya.

Ruang digital adalah ruang baru bagi pertarungan nilai. Dalam ruang ini, hukum harus tetap tegas, tetapi lentur, kuat, lembut, tertib dan penuh kasih. Filsafat hukum, menjadi jembatan antara kepastian regulasi dan kedalaman etika, yang hidup di hati nurani.

Dengan demikian, hukum era digital, bukan sekadar proyek legislasi, melainkan tugas peradaban. Ia harus menyinari, bukan menindas. Wujudnya harus membimbing, bukan membelenggu. Dalam keheningan data dan hiruk pikuk algoritma, hukum berpijak pada nilai, namun tetap menjadi suara jernih, membimbing umat manusia menuju keadilan yang tidak lekang zaman.

Penulis: M. Khusnul Khuluq

Sumber : Humas MA

Pewarta : Arif prihatin