SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, –Senin,21 Juli 2025. Pamer harta di media sosial dapat menjadi indikator awal bagi penyidik untuk melakukan penelusuran lebih lanjut.
Di era digital ini, media sosial menjadi panggung bagi siapa saja untuk menunjukkan berbagai sisi kehidupannya. Salah satu tren yang sedang marak adalah ‘flexing’ atau pamer kekayaan. Mulai dari memamerkan tas bermerek, liburan mewah, hingga koleksi mobil sport, semua dibagikan ke publik. Namun, apa jadinya jika unggahan tersebut justru menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri asal-usul kekayaan seseorang?
Fenomena flexing belakangan ini, tidak hanya menarik perhatian warganet, tetapi juga lembaga penegak hukum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menjadi dasar hukum yang dapat digunakan untuk menelusuri dugaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Pamer harta di media sosial dapat menjadi indikator awal bagi penyidik untuk melakukan penelusuran lebih lanjut.
Dalam proses hukum, di sinilah peran hakim menjadi sangat penting. Hakim harus bersikap objektif dan tidak terbawa opini publik atau viralnya sebuah kasus. Tidak semua yang terlihat mencolok berarti melanggar hukum. Hakim harus menilai secara menyeluruh, apakah benar ada tindak pidana di balik gaya hidup tersebut, ataukah itu sekadar ekspresi pribadi yang sah.
Sebagai lembaga yudikatif tertinggi, Mahkamah Agung memiliki peran strategis dalam menjaga agar proses peradilan berjalan dengan adil dan profesional. MA juga perlu terus mendorong pembinaan kepada para hakim untuk tetap berpegang pada kode etik dan pedoman perilaku, terutama dalam menghadapi kasus-kasus yang menjadi sorotan publik.
Ke depan, masyarakat juga diharapkan makin bijak dalam menggunakan media sosial. Tak semua yang layak dibanggakan harus dipamerkan, apalagi jika menimbulkan pertanyaan hukum. Media sosial semestinya menjadi ruang ekspresi, bukan jebakan yang membawa masalah.
Penulis: Nur Amalia Abbas
Sumber : Humas MA
Pewarta : Arif prihatin