SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, –Selasa, 19 Agustus 2025. Delapan puluh tahun bukan sekadar hitungan usia. Ia adalah cermin perjalanan institusi yang menanggung makna “merdeka” dalam menegakkan hukum dan keadilan di era modern atau digitalisasi saat ini.
Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia telah memasuki usia ke-80 tahun pada 19 Agustus 2025. Momen tersebut, dapat menjadi tonggak reflektif untuk menilai bagaimana independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman dibangun, diuji, dan diperkuat dalam dinamika politik-hukum Indonesia, dari kelahiran republik hingga saat ini.
Peringatan resmi HUT ke-80, dapat menjadi titik penegasan kembali posisi MA sebagai pemegang kekuasaan yudikatif atau peradilan yang membawahi empat lingkungan, yaitu: peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara.
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan Mahkamah Agung (MA) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif di Indonesia. Namun, pada fase awal berdirinya republik, kekuasaan kehakiman sempat mengalami intervensi. Hal ini terlihat dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 yang membuka ruang campur tangan eksekutif terhadap urusan peradilan atas nama revolusi.
Peristiwa tersebut, menjadi catatan penting dalam sejarah hukum Indonesia sekaligus alasan mendasar yang mendorong lahirnya agenda reformasi peradilan di era berikutnya.
Era Reformasi pada 1998 menjadi momentum untuk mengawali koreksi kekuasaan yudikatif secara struktural. Secara bertahap melalui Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 kemudian dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman melahirkan kebijakan sistem peradilan satu atap (one roof system). Segala urusan tentang administrasi, organisasi dan anggaran peradilan dipindahkan dari eksekutif ke Mahkamah Agung.
Tahapan tersebut diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang merumuskan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, adanya pengadilan khusus dan Hakim Ad Hoc, serta menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Dengan menyatukan “urat nadi” peradilan di bawah Mahkamah Agung tersebut, tujuan penegasan kemandirian kekuasaan kehakiman dari intervensi eksternal lembaga yudikatif sangat memungkinkan dapat tercapai.
Dari Courtroom Menuju “Clickroom”
Menyinggung soal independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman tentu tidak terbatas hanya terkait jarak dari intervensi, namun juga harus dipahami sebagai kredibilitas kapasitas dan proses peradilan. Mahkamah Agung telah meluncurkan sistem aplikasi Electronic Court (e-Court) untuk persidangan perkara perdata melalui PERMA Nomor 3 Tahun 2018, kemudian diperbarui menjadi e-Litigation oleh PERMA Nomor 1 tahun 2019 dan terakhir disempurnakan dalam PERMA Nomor 7 tahun 2022.
E-Court/E-Litigation dalam perjalanannya telah mengubah kinerja pengadilan. Hal tersebut termasuk pergeseran budaya kerja, akses para pihak dan manajemen pembuktian.
Transformasi dari ruang sidang ke ruang sistem elektronik atau aplikasi ini, pada akhirnya menjadi tolak ukur serta variabel penguatan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung. Proses peradilan kini lebih transparan, terdokumentasi dengan baik dan menganulir ruang improvisasi nonprosedural.
Modernisasi proses peradilan tersebut tentu untuk mewujudkan cita pelayanan yang unggul, prima dan terjangkau bagi masyarakat. Pada akhirnya timbul pertanyaan yang menarik, apakah pada akhirnya nanti tugas hakim akan dapat tergantikan oleh kemajuan teknologi yang saat ini telah banyak menggantikan fungsi proses peradilan?
Independensi dan Akuntabilitas dalam Ruang Nurani Hakim
Ketua Mahkamah Agung, dalam satu kesempatan pernah berpesan tentang prinsip kerja 3N, yaitu nalar, naluri dan nurani. Tiga prinsip tersebut, adalah pondasi yang harus dipegang teguh oleh setiap pegawai di semua level dan lini pekerjaan.
Terinspirasi dari pesan KMA tersebut, Kepala BUA, Dr. Sobandi, S.H.,M.H. juga pernah menyatakan jika nalar dapat saja digantikan oleh kecerdasan buatan, naluri juga dapat ditiru oleh mesin lewat algoritma canggih, namun nurani tidak akan pernah tergantikan oleh kedua hal tersebut.
Manifestasi nurani hakim tentu harus dipahami sebagai hal yang berperan bagi hakim untuk menafsirkan, menyeimbangkan dan menegakkan hukum. Dalam prosesnya, variabel tersebut tidak hanya berdasarkan teks normatif, tetapi juga keadilan yang substantif.
Nurani memberikan ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan moralitas, rasa keadilan serta nilai-nilai kemanusian dalam setiap putusan. Ia tidak akan pernah tergantikan oleh kecerdasan artifisial, walaupun juga dirancang oleh manusia.
Kecerdasan buatan adalah alat yang bekerja berdasarkan logika formal, sedangkan nurani merupakan perwujudan etis yang bersifat transenden.
Hukum adalah normative order, namun hukum juga harus bersesuaian dengan keadilan. Keadilan inilah yang menuntut adanya nurani, bukan algoritma.
Pada hakikatnya, independensi dan akuntabilitas bagi hakim adalah ruang nurani yang dilindungi oleh konstitusi, mandiri dalam hal administrasi hingga teknis proses peradilan dan bertanggung jawab secara etik.
Dalam ruang tersebut, hakim dapat secara leluasa menimbang fakta persidangan, mempertimbangkan norma dan rasa keadilan serta tidak berpengaruh pada opini publik apalagi gentar pada tekanan politik.
Oleh karena itu, independensi tentu dapat dimaknai bukan sebagai hak istimewa personal bagi hakim, namun menjadi prasyarat untuk due process of law yang objektif dan akuntabel.
Penutup: Harapan
Selama delapan dekade perjalanannya, Mahkamah Agung telah menunjukan perkembangan yang sangat jelas. Dari masa intervensi menuju kemandirian, dari struktur yang tersebar menuju satu atap dan dari prosedur manual menuju peradilan elektronik.
Kita tentu berharap bahwa kedepan, Mahkamah Agung dapat menjadi lembaga peradilan yang mandiri, kuat dan berintegritas serta semakin mendekatkan layanan yang transparan, cepat juga terjangkau untuk masyarakat.
Memperdalam modernisasi atau digitalisasi untuk E-Court/E-Litigation tentu perlu dilakukan. Hal tersebut harus dibarengi dengan upaya untuk “memperluas” ruang nurani hakim melalui pembinaan dan pelatihan berkelanjutan, perlindungan terhadap intervensi serta tentu saja, kesejahteraan yang memadai.
Kedepan, dengan usaha-usaha tersebut sistem peradilan berbasis elektronik tidak hanya sekedar menjadi kanal digital, melainkan suatu ekosistem yang dapat meningkatkan kualitas peradilan untuk dapat menghadirkan keadilan substantif.
Pada usia ke-80 tahun, Mahkamah Agung telah menempuh separuh abad lebih perjuangan untuk kemandirian. Tugas generasi kini adalah memastikan kemandirian itu tidak hanya hidup dalam teks undang-undang, tetapi berdenyut dalam setiap putusan, di setiap ruang sidang, dan dalam ruang nurani seluruh hakim Indonesia.
Selamat ulang tahun Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pengadilan Bermartabat, Negara Berdaulat.
Penulis: Dio Dera Darmawan
Pewarta : Arif prihatin