Selamat! Ketua Muda MA Bidang Pengawasan Raih Doktor dari Unair

News11 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | SURABAYA, –Selasa, 02 September 2025. Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Bidang Pengawasan Dwiarso Budi Santiarto meraih gelar Doktor dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Ia berhasil mempertahankan disertasi soal Korporasi sebagai subjek hukum korupsi.

“Disertasi Promovendus diterima. Dengan demikian Sdr. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum. telah menyelesaikan studinya dan dinyatakan lulus dengan Predikat Sangat Memuaskan” demikian ucap Ketua Sidang Ujian Terbuka Prodi Doktor Ilmu Hukum UNAIR yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum Unair Prof Iman Prihandono, di Aula Lantai 12 Gedung A.G. Pringgodigdo FH Unair, Senin (1/9/2025) kemarin.

Alhasil, Dwiarso sah menyandang gelar akademik tertinggi sebagai Doktor dalam Ilmu Hukum. Ia berhasil mempertahankan disertasinya tentang “Pedoman Pemidanaan terhadap Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana” di hadapan Tim Promotor, Dewan Penguji dan Para Undangan Akademik.

Disertasi Budiarso beranjak dari pemikiran bahwa meskipun telah ada evolusi hukum tentang kedudukan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dijatuhi pemidanaan. Semulanya dalam KUHP lama, korporasi dipandang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan kini dengan disahkannya UU Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang akan segera berlaku, telah mengakomodir korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana. Namun setelah meneliti banyak putusan yang menjadikan korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana ternyata masih terdapat disparitas yang bahkan sifatnya adalah unwarranted disparity (“perbedaan yang tidak berdasar”).

“Perkara dengan karakteristik serupa justru menghasilkan putusan yang berbeda jauh, baik dari segi pidana pokok maupun pidana tambahan. Inilah yang menimbulkan ketidakpastian hukum,” demikian salah satu point disertasi Budiarso.

Di sisi lain, meskipun Pasal 56 KUHP Baru telah mengatur bahwa dalam pemidanaan terhadap korporasi wajib dipertimbangkan tentang 10 hal yang termaktub dalam point “a” sampai dengan point “j”, namun ternyata sejatinya pengaturan itu masih menyisakan problem kekaburan hukum (vagueness of law) dalam pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Norma yang dirumuskan bersifat terlalu umum dan multitafsir. Misalnya, parameter tentang “tingkat kesalahan”, “dampak perbuatan”, atau “sikap korporasi setelah tindak pidana dilakukan” tidak disertai dengan kriteria penilaian yang jelas dan terukur. Hal ini mengakibatkan setiap hakim dapat menafsirkan secara berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan “tingkat kesalahan berat” atau “dampak signifikan”, sehingga rawan melahirkan disparitas pemidanaan. Lebih jauh, kekaburan ini juga tampak pada aspek pembedaan antara parameter objektif dan subjektif.

Pasal 56 mencampuradukkan indikator yang sifatnya faktual (misalnya besaran kerugian atau lamanya tindak pidana dilakukan) dengan indikator yang sifatnya evaluatif (misalnya sikap kooperatif korporasi dalam proses peradilan). Tanpa ada hierarki atau bobot penilaian yang pasti, hakim tidak memiliki pegangan yang memadai dalam menyeimbangkan kedua jenis parameter tersebut.

Dari sudut pandang filsafat hukum, kekaburan hukum yang berlebihan dapat melemahkan prinsip kepastian hukum. Hukum yang kabur justru menggeser beban pembentukan norma kepada hakim melalui interpretasi. Akibatnya, tujuan utama hadirnya pedoman pemidanaan yakni untuk menciptakan uniformitas putusan, mencegah disparitas, dan memberikan prediktabilitas tidak sepenuhnya tercapai.

“Dengan kata lain, kekaburan dalam Pasal 56 UU No. 1 Tahun 2023 berpotensi mengembalikan persoalan lamainkonsistensi putusan dan ketidakpastian hukum. Oleh sebab itu, diperlukan formulasi pedoman yang lebih rinci dan operasional,” ujarnya.

Novelty dari penelitian ilmiah Promovendus ini terletak pada tiga hal pokok. Pertama,merumuskan pedoman pemidanaan korporasi yang komprehensif dan lintas delik, bukan hanya pada tindak pidana tertentu. Kedua, mengintegrasikan teori dan praktik peradilan, sehingga membangun jembatan antara norma, doktrin, dan putusan hakim.

“Ketiga, menawarkan sistem kuantifikasi atau scoring system terhadap parameter Pasal 56 UU No. 1 Tahun 2023 agar lebih terukur dan mengurangi disparitas pemidanaan,” bebernya.

Prof Dr Agus Yuha Hernoko selaku Promotor dalam pidato pengantar kelulusan Yang Mulia Ketua Kamar Pengawasan mengucapkan selamat dan ikut berbangga atas pencapaian itu.

“Kepakkan sayapmu tapi tetaplah membumi, karena gelar ini adalah sarana untuk mencapai hakikat kemanusiaan. Sebagai Alumni, marilah bersama-sama kita membangun Universitas Airlangga, semata-mata sebagai ibadah,” ujarnya.

Adapun Prof Sunarto selaku Ketua Mahkamah Agung (M) yang juga merupakan salah satu Penyanggah dalam Tim Penguji sidang ujian terbuka tersebut menyatakan sangat mengapresiasi kelulusan Dwiarso ini karena sebagai atasan langsung, ia mengetahui persis bagaimana perjuangan Dwiarso untuk menuntaskan kuliahnya di tengah kesibukan menjalankan kewajiban utama untuk menyidangkan dan menjatuhkan putusan akhir yang jumlahnya ribuan dalam setiap tahunnya.

Sumber : Dandapala Contributor

Pewarta : Arif prihatin