Menyoal Jabatan Sipil yang Dapat Diduduki Prajurit TNI

News13 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, –Jum’at 21 November 2025. Para Pemohon Perkara Nomor 209/PUU-XXIII/2025 menyampaikan perbaikan permohonan pengujian materiil Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dua advokat, yaitu Marina Ria Aritonang dan Yosephine Chrisan Eclesia Tamba ikut bergabung bersama Pemohon lainnya Syamsul Jahidin dan Ratih Mutiara Louk Fanggi menjadi Pemohon perkara ini.

“Para Pemohon memenuhi syarat untuk menjadi Pemohon dalam mengajukan Pengujian Materiil Undang-Undang TNI terhadap UUD NRI 1945,” ujar Syamsul yang menghadiri sidang secara daring pada Kamis (20/11/2025).

Selengkapnya bunyi Pasal 47 ayat (1) UU TNI yaitu “Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, pengelola perbatasan, kelautan dan perikanan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.”

Syamsul menjelaskan pasal yang diuji ini menimbulkan kewenangan yang luas serta menciptakan potensi pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat Papua yang masih berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab, selain menduduki jabatan pada kementerian lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.

“Ketidakjelasan norma di dalam Pasal 47 ayat (2) membuka ruang yang ambiguitas, yang dalam frasanya terdapat pelanggaran, pelarangan, dan pengecualian,” kata Syamsul.

Para Pemohon mempersoalkan Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang memberikan keleluasaan alternatif bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan-jabatan sipil tertentu tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

“Masalah konstitusional muncul karena pasal ini tidak membedakan secara eksplisit antara lembaga yang termasuk dalam sistem pertahanan negara dan lembaga yang bersifat sipil administratif,” ujar Syamsul yang hadir langsung dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Jumat (7/11/2025) lalu di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Para Pemohon mengaku terdampak atas berlakunya Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang bertentangan dengan arah kebijakan nasional yang dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka mendorong perluasan kesempatan kerja bagi seluruh warga negara Indonesia (WNI). Namun, dalam kenyataannya, para Pemohon dan masyarakat sipil justru dihadapkan dan realitas maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), meningkatnya angka pengangguran, serta kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang layak dan berkelanjutan.

Sementara, kata para Pemohon, Pasal 47 ayat (1) UU TNI memperkenankan prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan yang memperparah ketimpangan akses terhadap jabatan sipil dan sektor kerja sipil. Ketentuan tersebut membuka peluang terjadinya dominasi aktor militer dalam struktur birokrasi sipil yang seharusnya diisi berdasarkan prinsip meritokrasi dan asas kesetaraan dalam hukum.

Para Pemohon melanjutkan, tidak hanya menciptakan distorsi dalam sistem ketenagakerjaan nasional, ketentuan tersebut juga berpotensi memperbesar angka pengangguran, termasuk di antaranya para lulusan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi bagian dari solusi bangsa dalam menciptakan peradaban hukum dan keadilan sosial. Karena itu, kondisi yang ditimbulkan oleh berlakunya norma a quo sejatinya tidak hanya melanggar kesetaraan di hadapan hukum, tetapi juga mencerminkan kegagalan negara dalam mewujudkan janjijanji konstitusional bagi warganya.

Selain itu, para Pemohon menyebut berlakunya Pasal 47 ayat (1) UU TNI justru membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan dan melemahkan prinsip demokrasi serta supremasi sipil yang menjadi pilar dalam sistem pemerintahan konstitusional. Kemudian kehadiran prajurit TNI dalam jabatan sipil berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena masih terikat sistem komando militer yang tidak sejalan dengan prinsip kerja birokrasi sipil yang menjunjung akuntabilitas publik dan transparansi.

Keberadaan prajurit TNI dalam jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pengangkatan yang transparan dan berbasis kompetensi berisiko mereduksi netralitas birokrasi serta menghambat reformasi administrasi pemerintahan yang berbasis pada good governance. Kondisi tersebut juga berpotensi melanggar prinsip non-diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan, karena memberikan keistimewaan kepada prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa prosedur yang sama dengan warga sipil lainnya, yang secara substantif dapat menimbulkan ketidaksetaraan di hadapan hukum.

Karena itu, dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau menyatakan Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat atau (unconditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai, Pasal 47 ayat (1) “Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga yang membidangi keamanan negara, pertahanan negara,termasuk Dewan Pertahanan Nasional, Intelijen Negara, Cyber, dan/atau Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Pencarian dan Pertolongan, Pengelolaan Perbatasan, Penanggulangan Bencana, Penanggulangan Terorisme, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.”

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan Majelis Panel akan menyampaikan permohonan ini dalam Rapat Permusyawaratan Hakim.

“Nanti Hakim Konstitusi bersembilan, termasuk kami, paling tidak tujuh Hakim Konstitusi yang akan memutuskan, apakah perlu dibawa ke pembuktian atau diputus tanpa pembuktian. Nah itu nanti akan dibahas, semua soal akan dinilai oleh Mahkamah,” jelas Saldi.

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha M

Pewarta : Arif prihatin