Rumah Sakit Menjadi Mitra Perguruan Tinggi Dalam Bidang Pendidikan Kesehatan

News19 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, –Jum’at,21 November 2025. Penyelenggaraan pendidikan spesialis/subspesialis kedokteran merupakan bagian dari pendidikan formal, sehingga penyelenggaraan program pendidikan spesialis/subspesialis kedokteran harus dilaksanakan oleh perguruan tinggi/universitas. Bahkan Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Sisdiknas mengatur secara jelas dan tegas terkait penyelenggaraan Pendidikan yang bukan Perguruan Tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

Hal tersebut disampaikan Zainal Arifin Mochtar dalam siang lanjutan dari uji materiil Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) pada Kamis (20/11/2025). Sidang ketujuh untuk Perkara Nomor 143/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi yang dihadirkan oleh para Pemohon. Para Pemohon dalam perkara yang dimohonkan sejumlah dokter dan mahasiswa ilmu kedokteran dimaksud, di antaranya Razak Ramadhan Jati Riyanto (Pemohon I), M. Abdul Latif Khamdilah (Pemohon II), M. Hidayat Budi Kusumo (Pemohon III), dan M. Mukhlis Rudi Prihatno (Pemohon IV).

“Artinya, arah politik hukum rumah sakit tidak dirancang sebagai penyelenggara pendidikan profesi spesialis/subspesialis kedokteran. Akan tetapi ditujukan untuk pelayanan masyarakat dan mitra perguruan tinggi untuk melakukan praktik di bidang pendidikan kesehatan,” jelas Zainal.

Apabila ingin melakukan sebuah terobosan, maka Zainal berpendapat perlu dilakukan perbaikan menyeluruh, termasuk mengubah konsep sistem pendidikan nasional yang diamanatkan dalam konstitusi dan UUD 1945.

Begitu pun dalam pemaknaan teknokratis, hal demikian harus memberikan keuntungan bagi seluruh rakyat Indonesia dan bukan hanya tentang terpenuhinya kemampuan tenaga dokter, tetapi juga memperhitungkan keamanan dan keselamatan pasien. Termasuk pula terpenuhinya kebutuhan tenaga pengajar, yang selama ini tidak dimiliki oleh rumah sakit karena hal tersebut menjadi ranahnya universitas.

Ranah Kementerian Pendidikan

Sementara itu, dalam keterangan Saksi atas nama Dwiana Ocviyanti selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan pembukaan suatu program studi merupakan ranah Kementerian Pendidikan dan bukan Kementerian Kesehatan.

Adapun tujuan dari pembukaan program studi yang berbasis rumah sakit untuk percepatan, namun menurut Dwiana membuka program studi, bukan hal yang mudah. Sebab ada standar yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, salah satunya standar yang paling tidak mudah yakni melatih atau menyiapkan dosen.

”Kita selalu berkata, kalau seorang pemain bola tidak otomatis bisa menjadi pelatih sepakbola. Dan itu yang terjadi pada program studi spesialis, karena yang dilihat adalah skill, tetapi upaya untuk memindahkan skill atau mengajarkan sejawat kita untuk mendapatkan suatu skill tertentu, itu membutuhkan keterampilan lebih dari sekadar menjadi dosen. Karena itu, kami memiliki di fakultas pelatihan menjadi dosen klinis,” sampai Dwiana.

Diterangkan Dwiana bahwa dosen klinis yaitu dosen yang dilatih memindahkan keterampilan klinisnya dengan memperhatikan keamanan pada pasien, sehingga memiliki syarat yang sangat ketat.

Dan hal ini, jelas Dwiana, menjadi suatu hambatan yang dialami FK UI terutama saat ditetapkannya Permendikbud setekah program studi dinyatakan akan dibuka. Bahkan pihaknya tidak dimintai pendapat terlebih dahulu atas kesiapannya dalam menjalankan program ini. Nyatanya, program studi dan pihak rumah sakit pun sama-sama tidak siap.

“Bahwa Undang-Undang Kesehatan menyatakan rumah sakit pendidikan dapat membuka program studi adalah melalui penetapan Menteri Kesehatan, tetapi pembukaan program studi tetap harus mengikuti aturan sesuai yang ada, yaitu dalam Undang-Undang Pendidikan. Kalau sebegitu banyak orang yang tidak memahami, barangkali ada yang salah dalam undang-undang ini, sehingga dianggap bahwa kementerian yang membawahi rumah sakit dapat membuka atau menganjurkan untuk pembukaan program studi,” jelas Dwiana.

Pada Sidang Pendahuluan, Rabu (27/8/2025) lalu, Dimas Pradana dan Arunega Dikta Widyatmaka selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Sebab semangat transformasi perubahan dengan menyediakan alternatif penyelenggaraan pendidikan profesi spesialis/subspesialis oleh Perguruan Tinggi dan Rumah Sakit Pendidikan, tanpa mengharmonisasikan dan mengubah hal-hal khusus yang beririsan dengan UU 17/2023 diundangkan dan dinyatakan tegas dalam UU 20/2003 dan UU 12/2012.

Dalam pandangan para Pemohon, pembentuk undang-undang dinilai tidak rasional dalam membentuk RSPPU dengan memproduksi dokter sebanyak-banyaknya tanpa memberdayakan terlebih dahulu Perguruan Tinggi yang sudah ada di seluruh Indonesia. Selain itu, hal demikian juga menimbulkan konflik kepentingan dan ketegangan terhadap dua sistem penyelenggara pendidikan berbeda antara Perguruan Tinggi sebagai university based dan RSPPU sebagai hospital based. Sebab perbedaan sistem pendidikan dan perlakuan terhadap residen mahasiswa, baik semasa pendidikan maupun pascapendidikan.

Menurut Pemohon, norma Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2) UU 17/2023 telah melanggar Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 karena Pemerintah memberlakukan dualisme penyelenggara pendidikan profesi spesialis dan subspesialis tanpa mengharmonisasikan terlebih dahulu berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan pendidikannya.

Selain itu, norma ini melahirkan dualisme pada sistem penyelenggaraan pendidikan spesialis/subspesialis di RSPPU yang dapat berdampak pada kecemburuan dan konflik kepentingan, baik dari penyelenggara pendidikan maupun residen.

Pewarta : Arif prihatin