Prof. Didin S. Damanhuri: EKONOMI INDONESIA BUTUH POLITIK YANG TIDAK KISRUH Ekonomi Vietnam Melejit karena Kestabilan Nasional

News11 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA-JAKARTA
JAKARTA (16/1).
Ekonom Senior Insititute for Development of Economics and Finance (Indef) Dan Ketua Dewan Pakar Asprindo Prof Didin S Damanhuri menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan, dan jauh lebih rendah dari Vietnam disebabkan oleh faktor perbedaan sistem politik dan penegakan hukum. Ia menilai ada kekisruhan demokrasi prosedural di Indonesia, sehingga menyulitkan pertumbuhan ekonomi, dan tertinggal dari Vietnam.

Angka pertumbuhan ekonomi Vietnam dalam 10 tahun terakhir mencapai rata-rata 6,05 persen. Perinciannya, pada 2014, perekonomian Vietnam tumbuh 6,4 persen, 2015 (7 persen), 2016 (6,7 persen), 2017 (6,9 persen), 2018 (7,5 persen), dan 2019 (7,4 persen).

Lalu mengalami kejatuhan seiring dengan kondisi Covid-19 dengan mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi pada 2020 sebesar 2,9 persen, 2021 mencapai 2,6 persen. Tapi ekonomi Vietnam kembali melejit menjadi 8,1 persen pada 2022, dan kemudian 5 persen pada 2023.

Sementara itu, data yang sama menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam satu dekade terakhir berada di angka 4,21 persen. Perinciannya, pada 2014 Indonesia mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi 5 persen, 2015 (4,9 persen), 2016 (5 persen), 2017 (5,1 persen), 2018 (5,2 persen), dan 2019 (5 persen). Lalu juga mengalami kejatuhan pada masa pandemi Covid-19 dengan mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi pada 2020 menyentuh -2,1 persen, lalu 2021 mencapai 3,7 persen, dan pulih di 2022 sebesar 5,3 persen, berlanjut 5 persen pada 2023.

Didin mengatakan, sebenarnya tidak ada perbedaan pendekatan dalam menumbuhkan ekonomi suatu negara. Secara umum, pertumbuhan ekonomi dipacu oleh government expenditure, baik APBN, perbankan, investasi, konsumsi masyarakat dan pemerintah, maupun perdagangan internasional. Namun, dalam konteks membandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan negara lain, semisal Vietnam, ada jawabannya tersendiri, kaitannya dengan sistem pemerintahan yang berjalan.

“Sederhananya, Vietnam itu mirip kayak Orde Baru di Indonesia. Ada stabilitas politik yang panjang, ada semacam GBHN-nya, dan kemudian tidak terjadi kebijakan antar 5 tahunan,” jelas Didin.

*Politik Vietnam Cenderung Stabil*

Vietnam diketahui merupakan negara yang menganut komunisme dengan struktur politik tanpa sistem multipartai. Dalam keberjalanannya, Vietnam menyusun rencana jangka panjang, yang tidak banyak direcoki oleh berbagai kepentingan.

Menurut Didin, kondisi pemerintahan atau politik di Vietnam cenderung stabil, dan penegakan hukumnya pun terjamin di era pemerintahan yang bisa berubah-ubah. Kondisi itu, dalam konteks investasi, membuat kalangan investor mendapatkan jaminan untuk kepastian hukum.

Sementara itu, Indonesia diketahui menganut sistem presidensial yang tiap 5 tahun berganti kepemimpinan lewat kontestasi Pilpres. Ada banyak partai politik pula yang bergelut, sehingga banyak kepentingan ikut campur. Konsekuensi dari penerapan sistem tersebut, secara empiris tidak ada stabilitas yang menjamin kontinuitas dalam proses pembangunan, sebab Indonesia masih dalam tahap konsolidasi demokrasi.

“Di Indonesia, ganti pemerintah, ganti kebijakan. Walaupun zaman dua periode SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) atau dua periodenya Joko Widodo, tetap saja ada perbedaan-perbedaan yang diantara 5 tahun pemeritahan itu, sehingga berbagai perspektif yang sifatnya prioritas itu terjadi pergeseran,” ujar Didin.

Ia mencontohkan yang paling menonjol di era reformasi adalah tidak adanya industrial policy atau kebijakan industrialisasi yang menjamin kepastian bagi para investor untuk memacu sektor-sektor industrial di dalam periode tertentu.

Didin menyoroti perkembangan dalam 10 tahun terakhir di bawah kepemimpinan Joko Widodo, kondisi penegakan hukum dinilai mengalami kekisruhan, akibat dinamika politik yang turut diramaikan oleh kepentingan kapital/ korporasi besar dalam kontestasi politik. Di antara kebijakan yang lahir dari ‘rahim’ Jokowi adalah Undang-Undang Cipta Kerja, yang dinilai tidak berpihak pada publik.

Adapun di era kepemimpinan baru di bawah Prabowo Subianto, Didin melihat sebenarnya ada keinginan pergeseran ekonomi yang lebih berpihak pada rakyat. Tetapi landasan hukum yang mendasarinya menggunakan perundang-undangan yang diciptakan pada masa Jokowi, dan ternyata tidak kompatibel, sehingga investor memandang adanya kondisi ketidakpastian.

Ia mencontohkan beberapa kondisi yang menciptakan ketidakpastian, bahkan kekisruhan. Mulai dari tidak berdayanya pemerintah menangani pengemplang pajak sawit atau tambang, kasus-kasus korupsi yang masih marak, hingga kasus-kasus seperti PSN PIK 2, kaitannya dengan pemagaran laut.

“Kekisruhan demokrasi prosedural ini punya konsekuensi terhadap sulitnya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Jadi sustainable growth tidak terjadi, dan juga tidak berkualitas, dalam arti menimbulkan masalah ketimpangan yang makin buruk,” ujarnya.

*Indonesia Hadapi Tantangan Besar*

Menurut Didin, Indonesia menghadapi tantangan yang besar di tengah ambisi Prabowo ingin mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Ia menilai pemerintahan Prabowo harus melakukan langkah yang lebih jitu dalam memodenisasi sistem politik. Termasuk di bidang ekonomi, pemerintahan Prabowo harus membuat terobosan, dengan misalnya melakukan industrialisasi pedesaan untuk memperbaiki ketimpangan yang buruk saat ini.

“Setahu saya, program Kampung Industri sudah digagas oleh Asprindo. Tinggal diperluas, dan kalau perlu dijadikan program nasional,” imbuh Didin.

Didin menambahkan, pemerintahan Prabowo bisa mengambil inisiatif untuk memodernisasi sistem politik, sehingga favorable terhadap sustainable growth yang tinggi, tapi juga berkelanjutan, tanpa mengurangi kompetisi politik. Terutama yang harus berujung pada jaminan supremasi hukum. ***
(*/Dea )

Narasumber.Irsan Hb

Pewarta.Basri