Ketua DPC PWRI Kab. Cirebon Menyikapi UU ITE vs UU Pers: Lindungi Kebebasan Pers dan Hak Asasi Manusia di Era Digital

News16 Dilihat

SATYA BHAYANGKARA | KABUPATEN CIREBON, – Perkembangan pesat media sosial dan teknologi digital menghadirkan tantangan baru dalam konteks kebebasan pers dan hak asasi manusia. Seringkali, unggahan di media sosial yang berupa kritik, opini, atau bahkan karya jurnalistik, berujung pada tuduhan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, perlu dipahami bahwa UU ITE tidak selalu menjadi landasan hukum yang tepat, terutama jika konten tersebut merupakan bagian dari kegiatan jurnalistik yang dilindungi oleh Undang-Undang Pers. Minggu ( 29/06/2025 )

Sebagai lembaga kontrol sosial, media memiliki hak untuk menggali, memperoleh, serta menyebarluaskan informasi yang akurat dan benar kepada publik. Hal ini dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tepatnya Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.”

Selain itu, Pasal 4 ayat (3) UU yang sama juga menegaskan “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”

Dengan dasar hukum tersebut, media berhak mengumpulkan data sekunder (dokumen resmi, laporan administrasi) maupun data primer (konfirmasi langsung ke narasumber di lapangan).

Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE memang mengatur tentang penyebaran informasi elektronik yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik. Namun dalam UU Pers, khususnya pada Pasal 4 ayat (1) dan (2), secara tegas menjamin kemerdekaan pers dan melarang penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Lebih lanjut, Pasal 8 UU Pers memberikan wartawan “Hak Tolak” dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Konflik antara kedua undang-undang ini diselesaikan dengan prinsip lex specialis derogat legi generali, di mana UU Pers berlaku sebagai hukum khusus (lex specialis) jika konten tersebut merupakan produk jurnalistik.

Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 14). Kebebasan berekspresi, termasuk melalui media sosial, juga dijamin secara internasional dan telah diratifikasi oleh Indonesia.

Penting untuk diingat bahwa pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan absolut. Artinya, proses hukum hanya dapat dilakukan jika pihak yang merasa dirugikan secara langsung membuat aduan. Tuduhan pelanggaran UU ITE tanpa aduan langsung dari pihak yang dirugikan tidaklah sah.

DPC Persatuan Wartawan Republik Indonesia ( PWRI) Kabupaten Cirebon menekankan bahwa kritik terhadap pejabat publik, selama didasarkan pada fakta dan bukti yang sah, bukanlah tindak pidana. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan sejumlah putusan yang memperkuat hal ini. Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008, misalnya, menyatakan bahwa kritik terhadap penyelenggara negara bukanlah pencemaran nama baik. Begitu pula Putusan MA No. 1608 K/PID/2005 yang menyatakan bahwa pemberitaan berdasarkan investigasi dan didukung alat bukti tidak dapat dijerat pasal pencemaran nama baik.

Peran jurnalis, dalam menjalankan tugasnya, bekerja dengan mengumpulkan informasi dari narasumber terpercaya dan dokumen resmi (sesuai Pasal 184 KUHAP: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa). Upaya memaksa jurnalis untuk membuka sumber atau mengkriminalisasi pemberitaan yang sah merupakan pelanggaran terhadap UU Pers dan hak asasi manusia.

Selain itu, dalam setiap pemberitaan, media tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah ( presumption of innocence), yaitu setiap orang yang diduga melakukan perbuatan hukum harus dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Kesimpulannya, dalam era digital, penting untuk memahami dan menerapkan prinsip lex specialis dalam kasus yang melibatkan karya jurnalistik. Kebebasan pers dan hak asasi manusia harus dijaga dan dilindungi, selama tidak ada pelanggaran hukum yang nyata seperti ujaran kebencian, hoaks, atau fitnah yang terbukti. Perlu kehati -hatian dalam menjerat seseorang dengan UU ITE, terutama jika konten tersebut merupakan bagian dari kegiatan jurnalistik yang dilindungi oleh UU Pers.

Pemberitaan yang disusun berdasarkan bukti sah dan disajikan secara berimbang tidak dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik atau pelanggaran informasi elektronik, melainkan merupakan bentuk kontrol sosial yang dijamin oleh Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta dilindungi hak kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab.

Sumber : Moh. Juanda Ketua DPC PWRI Kabupaten Cirebon

#No Viral No Justice

#UU Pers No 40 Tahun 1999

#UU ITE

#Jurnalis

Pewarta : Arif prihatin

#Kode Etik Jurnalistik