SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Jum’at 04 Juli 2025. Pendekatan yang digunakan dalam TPPU adalah bukan untuk menghukum pelaku selama-lamanya atau seberat-beratnya, tetapi bagaimana mengembalikan kerugian keuangan khususnya keuangan negara karena kerugian keuangan negara hak milik atau kepunyaan rakyat.
Pencucian uang berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, menstransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Tindak pidana Pencucian uang (TPPU) sebagai salah satu extraordinary crime pada umumnya mempunyai beberapa tahapan, yang pertama placement yaitu, tahap penyisipan uang uang hasil tindak pidana ke lembaga keuangan yang sah, kemudian yang kedua, layering yaitu proses pengiriman uang melalui berbagai transaksi keuangan untuk mengubah wujud dan membuatnya sulit diikuti dan yang terakhir adalah Integrasi yaitu tahap menyatukan kembali uang-uang hasil tindak pidana tersebut setelah melalui tahap-tahap placement dan layering di atas untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal.
Namun dalam praktiknya selama ini, penanganan TPPU masih selalu terhambat dengan adanya perdebatan dan pertanyaan mengenai apakah tindak pidana ini bisa di proses tanpa harus menunggu tindak pidana asalnya (predicate crime) terbukti lebih dahulu. Pola pikir yang selama ini tertanam pada aparat penegak hukum bahwa TPPU adalah follow up crime dari tindak pidana asal. Penafsiran seperti ini tentunya akan menghambat penanganan TPPU yang mempunyai tujuan sesegera mungkin dapat mengembalikan kerugian atas tindak pidana yang terjadi.
Pasal 69 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”.
Pasal itulah yang menjadi titik tonggak dan pegangan bagi aparat penegak hukum untuk mempermudah dan mempercepat penanganan TPPU. Hal ini diperjelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XIII/2015 yang pada intinya Pemohon dalam perkara tersebut memohon untuk Pasal 69 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dinyatakan inkonstitusional dan tidak berlaku.
Mahkamah Konstitusi memutus permohonan uji materil tersebut dengan amar “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya”. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat dibaca sebagai betapa pentingnya penanganan TPPU yang cepat agar prinsip follow the money dapat segera dilaksanakan.
Selain itu, Muhammad Yusuf (Kepala PPATK 2011-2016) dalam keterangan sebagai ahli dalam sidang uji materiil pasal 69 Undang-Undang 8 Tahun 2010 menyebutkan: Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bermakna pencucian uang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri (independent crime).
Hal ini diperkuat oleh Hakim Agung Djoko Sarwoko yang mengatakan tindak pidana pencucian uang bersifat independen, mandiri, dan memiliki karakter khusus. Sehingga, proses penegakan hukumnya tidak terpengaruh oleh pembebasan terdakwa dari predicate crime. Pendekatan yang digunakan dalam TPPU adalah bukan untuk menghukum pelaku selama-lamanya atau seberat-beratnya, tetapi bagaimana mengembalikan kerugian keuangan khususnya keuangan negara karena kerugian keuangan negara hak milik atau kepunyaan rakyat.
Sebagai contoh dalam perkara nomor 929/Pid.B/2016/PN.Btm atas nama terdakwa Tommi Andika Janur, pelaku tindak pidana asal adalah WJA Kumar dan Zulfahmi bin Munir (dalam status Daftar Pencarian Orang) meskipun belum ditemukan pelaku tindak pidana asal dan dibuktikan tindak pidana asalnya, akan tetapi Majelis Hakim dalam perkara tersebut tetap menyatakan terdakwa Tommi Andika Janur terbukti bersalah telah menerima atau menguasai atau mempergunakan harta kekayaan hasil tindak pidana WJA Kumar walaupun belum dibuktikan perbuatan pidananya. Majelis Hakim dalam perkara tersebut berkesimpulan, terdakwa seharusnya mengetahui atau setidak-tidaknya patut menduga jika uang yang diterimanya tersebut merupakan hasil tindak pidana.
Dari contoh tersebut artinya pendapat bahwa TPPU merupakan follow up crime dan harus dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya sudah tidak relevan lagi digunakan. Apalagi sekarang Indonesia sekarang sedang berada dalam tahap industry 4.0 dan pada 2045 direncanakan sudah mencapai Industry 5.0. Sebagai implikasi kemajuan zaman tersebut, investasi di Indonesia juga berkembang dengan mengenal produk baru yang bernama cryptocurrency.
PPATK sendiri telah mencium modus baru tindak pidana pencucian uang (TPPU), yaitu dengan menyimpan uang di pasar modal dan valuta asing. Ini membuktikan modus pencucian uang juga bermetamorfosis ke arah yang semakin canggih seiring kemajuan teknologi dan informasi. Tentunya negara tidak boleh kalah dengan perkembangan ini. Fenomena tersebut harus diantisipasi dan mitigasi karena adanya peluang terjadinya kejahatan pencucian uang berbasis aset virtual di tahun-tahun mendatang, sehingga hal-hal yang dapat menghambat dalam penanganan TPPU juga harus diminimalisir.
Kesimpulan
Pasal 69 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi : “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya” harus tetap ditegakkan dan dipertahankan sebagai upaya mempermudah penanganan TPPU.
Kata kunci dari pasal tersebut adalah tidak wajib dibuktikan yang artinya asal predicate crime terindikasi ada maka proses penyelidikan dan penyidikan hingga peradilan tetap bisa dilaksanakan agar penanganan TPPU lebih cepat dan potensi kembalinya kerugian atas kejahatan lebih besar.
Namun, aparat penegak hukum harus tetap melaksanakan due process of law dengan integritas yang tinggi karena menyangkut hak asasi dari seseorang. Selain integritas, aparat penegak hukum tentu harus tetap menemukan minimal dua alat bukti terlebih dahulu dan berpegang pada asas In criminalibus, probationes debent esse luce clariores, yaitu “Di dalam perkara pidana itu bukti-bukti harus lebih terang dari cahaya”
Penulis: Taruna Prisando
Sumber : Humas MA
Pewarta : Arif prihatin