SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, –Jum’at,15 Agustus 2025. Pada akhirnya, perlindungan hak cipta bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan wujud penghormatan terhadap kerja kreatif yang menopang industri budaya.
Pemutaran lagu di ruang publik seperti restoran, kafe, mal, hotel, dan tempat hiburan telah lama menjadi praktik umum di Indonesia. Namun, seiring berkembangnya pemahaman tentang hak kekayaan intelektual, praktik ini memunculkan polemik terkait kewajiban pembayaran royalti kepada pencipta lagu atau pemegang hak.
Banyak pelaku usaha merasa keberatan atas kewajiban tersebut, sementara para pencipta lagu menuntut hak atas hasil karya mereka. Polemik ini menjadi semakin menarik jika dibandingkan dengan pendekatan hukum di Uni Eropa, khususnya dalam konsep communication to the public.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) menjadi dasar hukum utama yang mengatur hak moral dan ekonomi para pencipta lagu. Salah satu hak ekonomi tersebut adalah hak untuk menerima royalti atas penggunaan karya mereka di ruang publik, termasuk dalam bentuk pemutaran lagu.
Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta secara eksplisit menyatakan, penggunaan ciptaan secara komersial oleh pihak lain wajib mendapat izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Lebih lanjut, Pasal 87 memperkenalkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang diberi mandat untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
Namun, dalam praktiknya regulasi ini menghadapi tantangan, belakangan banyak pelaku usaha yang lebih memilih untuk memutar lagu asing untuk menghindari pembayaran royalti tersebut yang tentu berdampak besar pada industri kreatif dan promosi budaya di Indonesia.
Pemutaran lagu asing di ruang publik tidak otomatis membebaskan pelaku usaha dari kewajiban membayar royalti. Pemegang hak cipta lagu asing dapat menarik royalti di Indonesia melalui perwakilan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang bekerja sama lintas negara. Mekanisme ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU Hak Cipta, yang melindungi ciptaan warga negara atau badan hukum asing ketika karyanya digunakan atau dipublikasikan di Indonesia. Selain itu, Pasal 87-90 UU Hak Cipta mengatur tugas Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam mengelola pendistribusian royalti, termasuk menerima dan menyalurkannya kepada LMK lokal maupun LMK asing mitra kerja.
Rendahnya kesadaran hukum, minimnya pemahaman, dan ketidaktahuan pelaku usaha terhadap kewajiban membayar royalti-sebagai bentuk penghormatan hak kekayaan intelektual-sering menimbulkan persoalan hukum. Kasus yang dialami sebuah jaringan waralaba di Bali menjadi salah satu contohnya.
Selain itu, belum adanya parameter yang jelas terkait dasar penarikan royalti, transparansi distribusi, dan kategorisasi ruang publik yang dianggap “komersial” memunculkan tantangan tersendiri. Posisi dominan LMK dalam menentukan tarif royalti juga berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti-Monopoli).
Untuk memberi parameter yang lebih spesifik terhadap pengenaan royalti dan kriteria penggunaan komersial, Indonesia dapat merujuk pada penerapan prinsip Communication to Public yang diterapkan di Uni Eropa dalam EU Infosoc Directive (2001/29/EC). Konsep ini merujuk pada setiap tindakan yang membuat karya dapat diakses oleh publik, termasuk pemutaran lagu di hotel, restoran, dan tempat komersial lainnya.
Dari beberapa kasus landmark tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai beberapa alat ukur untuk memastikan hak ekonomi pemegang hak cipta tidak dilanggar, dengan cara mengkategorikan apakah suatu tindakan merupakan bentuk communication to the public dengan menentukan:
1. Apakah ada komunikasi aktif (pelaku usaha tidak sekadari menyediakan perangkat untuk menikmati suatu hak cipta)?
Dalam kasus SGAE v. Rafael Hoteles di mana hotel yang menyediakan televisi di kamar dan memutar siaran dianggap melakukan komunikasi aktif, bukan sekadar menyediakan alat, CJEU membedakan antara pelaku pasif (yang hanya menyediakan sarana teknis seperti televisi atau radio) dan pelaku aktif yang secara sadar dan sengaja melakukan transmisi karya kepada publik.
2. Apakah karya tersebut disampaikan kepada public baru?
Dalam kasus Football Association Premier League (FAPL) v QC Leisure & Murphy v Media Protection Services)dimana suatu pub menggunakan decoder asing untuk memutar pertandingan Premier League dan menjangkau publik baru yang tidak termasuk dalam lisensi domestik siaran. CJEU memberi kaidah hukum terhadap arti “Publik baru” yaitu kelompok audiens yang tidak termasuk dalam cakupan izin awal yang diberikan oleh pemegang hak cipta. Artinya, siaran atau pemutaran tersebut menjangkau orang-orang yang tidak dimaksudkan oleh lisensi awal.
3. Apakah tindakan tersebut bertujuan untuk memperoleh keuntungan?
Dalam kasus landmark Società Consortile Fonografici (SCF) v. Marco Del Corso, yaitu pemutaran musik di ruang praktek dokter gigi, CJEU mempertimbangkan apakah tindakan pemutaran tersebut dilakukan dalam konteks bisnis atau untuk memperoleh manfaat ekonomi, baik langsung (dari biaya masuk/tiket) maupun tidak langsung (misalnya menarik lebih banyak pelanggan, meningkatkan suasana, memperlama kunjungan pelanggan).
Merujuk pada praktik dan kriteria tersebut, sebagai alat ukur agar hak cipta tidak dilanggar melalui transmisi ulang tanpa izin, perluasan audiens tanpa persetujuan dan pemanfaatan karya untuk tujuan komersial, beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan adalah:
1) Menyesuaikan definisi ruang publik komersial, dengan mempertimbangkan niat pemutaran dan kontribusi langsung terhadap keuntungan usaha;
2) Menerapkan skema tarif proporsional berdasarkan jenis usaha, luas ruangan, dan durasi pemutaran lagu;
3) Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi royalti oleh LMKN dan LMK; serta
4) Meningkatkan edukasi hukum kepada pelaku usaha dan masyarakat tentang pentingnya perlindungan hak cipta.
Beberapa hal ini telah sejalan dengan opsi keringanan yang diberikan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) yang melakukan pembebasan tarif royalti berdasarkan luas ruang usaha, kapasitas pengunjung dan tingkat pemanfaatan musik dalam kegiatan harian.
Dengan pembaruan regulasi yang berimbang dan implementasi yang transparan, diharapkan Indonesia dapat menciptakan ekosistem yang adil dimana pencipta lagu mendapatkan penghargaan yang layak, sementara pelaku usaha tidak merasa terbebani secara tidak proporsional. Pada akhirnya, perlindungan hak cipta bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan wujud penghormatan terhadap kerja kreatif yang menopang industri budaya.
Penulis: Muh. Shaleh Amin
Sumber : Humas MA
Pewarta : Arif prihatin