SATYA BHAYANGKARA | JAKARTA, – Selasa 1 Juli 2025. Sebuah profesi memerlukan pengukuran kinerja yang tepat guna mendorong kualitas kinerjanya dan berpengaruh kepada keberhasilan lembaganya, terkhusus untuk keberhasilan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan visi mulianya tersebut.
Istilah kinerja, berasal dari kinetika energi kerja atau biasa dikenal dengan istilah performance. Menurut Wirawan, dalam buku berjudul Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia: Teori, Aplikasi, dan Penelitian, kinerja didefinisikan sebagai suatu keluaran, yang dihasilkan oleh fungsi atau indikator suatu profesi, dalam waktu tertentu.
Kinerja suatu profesi, pasti sangat mempengaruhi kinerja organisasi dalam mencapai tujuan atau visi organisasi, maka dari itu, untuk memastikan terwujudnya visi sebuah organisasi, penting dilakukan sebuah proses mengetahui performa dan kinerja individu atau tim dalam suatu organisasi, melalui sebuah mekanisme pengukuran kinerja.
Secara singkat Van Dooren, Bouckaert, dan Halligan, menjelaskan performance atau kinerja dapat didefinisikan sebagai outputs dan outcomes, selanjutnya menerangkan, penilaian atau pengukuran kinerja adalah berbagai kegiatan, yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi dari kinerja (Performance measurement is the bundle of activities aimed at obtaining information on performance);
Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman, tentunya memiliki visi besar dan mulia, yang ingin diwujudkan, berupa mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, Mahkamah Agung telah memiliki sejumlah misi, yaitu menjaga kemandirian badan peradilan, memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan, meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan, serta meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
Guna menjalankan misi tersebut, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai sebuah lembaga negara membutuhkan keterlibatan seluruh komponen aparatur di dalamnya, termasuk hakim.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, pada dasarnya menempatkan Hakim sebagai pejabat negara, yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sebagaimana diatur undang-undang. Hakim, sebagai pejabat negara yang menyelenggarakan peradilan, memiliki tugas pokok memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara.
Berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah pejabat negara, namun di sisi tidak dapat dipungkiri sebagian besar norma di bawah undang-undang, masih menempatkan hakim tingkat pertama dan tingkat banding sebagai pegawai negeri sipil (PNS), dimana berlaku sejumlah aturan kepegawaian pegawai negeri sipil (PNS).
Namun demikian, terlepas kedudukan dan statusnya, pada dasarnya kita semua harus sepakat, sebuah profesi memerlukan pengukuran kinerja yang tepat guna mendorong kualitas kinerjanya dan berpengaruh kepada keberhasilan lembaganya, terkhusus untuk keberhasilan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan visi mulianya tersebut.
Bahkan Prof. Dr. Moeheriono, M.Si., dalam bukunya yang berjudul Pengukuran Kinerja Berbasi Kompetensi, menyebutkan, jika tanpa tujuan dan target yang ditetapkan dalam pengukuran, kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui, bilamana tidak ada tolak ukur keberhasilannya. Tentunya menjadi persoalan kemudian, bagaimana mewujudkan mekanisme pengukuran kinerja yang ideal bagi seorang hakim?
Stoner sebagaimana dikutip oleh Priyono dalam buku berjudul Manajemen Sumber Daya Manusia, menyatakan, kinerja sebagai kuantitas dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan individu, kelompok atau organisasi. Hal ini, berarti mengukur kinerja diperlukan penelusuran sisi kuantitas dan kualitas atas pekerjaannya. Tugas pokok hakim, memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara.
Dalam praktiknya, akan sangat lebih mudah, untuk melakukan pengukuran kinerja berbasis kuantitas, dibandingkan dengan kualitas, padahal sangat penting mengukur keduanya secara seimbang.
Contohnya, untuk saat ini, hakim tingkat banding dan tingkat pertama, karena masih tunduk pada beberapa peraturan kepegawaian yang berlaku kepada pegawai negeri sipil (PNS), maka hakim tingkat pertama dan banding diwajibkan untuk mengisi Sasaran Kerja Pegawai (SKP) dalam sebuah aplikasi yang bernama E-Kinerja.
Di sana, hakim tingkat pertama dan banding, mengisi sasaran kinerja dan target kinerja dalam memeriksa dan memutus perkara pada tahun tersebut, biasanya dengan didasari jumlah penanganan perkara tahun sebelumnya, dan terkadang kendalanya, jumlah penanganan perkara tidak mudah diprediksi dan dapat mengalami perubahan.
Kemudian setelah itu, hakim tingkat pertama dan banding akan mengisi hasil kinerja setiap triwulan dan tahunan, untuk mendapat penilaian dari atasan langsung. Sasaran Kerja Pegawai (SKP), merupakan mekanisme penilaian kinerja yang berlaku umum bagi pegawai negeri sipil (PNS) di seluruh instansi.
Meskipun Sasaran Kerja Pegawai (SKP) didasarkan pada Indikator Kinerja Utama (IKU) dari satuan kerjanya, namun belum dapat menggambarkan kinerja seorang hakim secara utuh, pertama karena target ditentukan sendiri oleh yang bersangkutan, berdasarkan jumlah penanganan perkara tahun sebelumnya, dan atasan langsung, juga sulit untuk memonitoring persentase penyelesaian perkara dari seorang hakim, jika hanya bertumpu pada Sasaran Kerja Pegawai (SKP).
Belum lagi, setiap penilaian kinerja yang dilakukan tersebut, masih berbasis kuantitas, dan belum menyentuh sisi kualitasnya. Namun begitu, tidak dapat dipungkiri, agak sulit mengukur kualitas kinerja seorang hakim, yang salah satu tugas pokoknya adalah memberikan keadilan, apalagi perspektif tentang keadilan bisa jadi sangat beragam.
Menyikapi fenomena tersebut, dibutuhkan sebuah langkah besar dari Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman, untuk bersama-sama menyepakati mekanisme satu atap penilaian kinerja bagi seorang hakim, yang berada di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan berbasis kuantitas dan kualitas.
Hal tersebut, demi mendorong terwujudnya visi besar Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu terwujudnya badan peradilan Indonesia yang agung.
Dalam rangka menyusun mekanisme pengukuran kinerja tersebut, setidaknya terdapat beberapa prinsip utama yang dapat dijadikan pedoman, yaitu ukuran kinerja konsisten dengan tujuan organisasi, ukuran kinerja memiliki adaptabilitas pada kebutuhan organisasi, ukuran kinerja dapat mengukur aktivitas signifikan, ukuran kinerja mudah diaplikasikan, ukuran kinerja mempunyai akseptabilitas dari atas ke bawah, ukuran kinerja berbiaya efektif dan ukuran kinerja tersaji tepat waktu.
Salah satu contoh, metode pengukuran kinerja yang menarik dan sering digunakan oleh beberapa instansi, adalah metode feedback 360 derajat.
Bentuknya penilaian beragam titik, yakni dari diri sendiri, dari atasan, rekan kerja dan bawahan. Metode feedback 360 derajat yang dikembangkan oleh militer Jerman selama Perang Dunia II tersebut, menganggap informasi yang dikumpulkan dari berbagai perspektif, dianggap lebih komprehensif dan objektif daripada informasi yang diperoleh hanya dari satu sumber.
DAFTAR PUSTAKA
A. Artikel Jurnal dan Penelitian:
– Chaeroni, Aili’un Mianingsih, Balqis Reyhan Masiva, Fita Firdausiyah, Ahmad Sodiq. “Pengukuran Kinerja”. Sultra Journal Of Economic and Business. Vol. 5. No. 1. April 2024.
Trilestari, Endang Wirjatmi. “Pengukuran Kinerja di Sektor Publik”. Jurnal Ilmu Administrasi. 2005.
– Faizah, Arihnatul. “Efektivitas Metode Feedback 360 Derajat Dalam Mempertahankan Kinerja Karyawan Perspektif Manajemen Syariah (Studi Kasus di BMT UGT Nusantara Kediri)”. Skripsi Program Studi Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri. 2022.
B. Buku
– Moeheriono, Edi. (2012). Pengukuran Kinerja Berbasis Kompetensi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
– Priyono. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia. Surabaya: Zifatama Publisher.
Wirawan. (2009). Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Empat.
C. Peraturan Perundang-undangan
– Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
– Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Penulis: Galih Erlangga
Sumber : Humas MA
Pewarta : Arif prihatin